“Menyedihkan. Dia terlalu berlebihan.
Aku sama sekali tak ingin dikasihani.” Ujar Tave berpangku tangan. Ia
menyandarkan tubuhnya di sofa Apartmen Nabila.
“Jangan begitu. Dia orang
baik lho…” Nabila membela Mei. “Lagipula, ini salah Daffa. Kenapa ia mencampakkan
Mei. Apa kamu tidak memikirkan perasannya?”
Tave menghela nafas. “Aku
tidak peduli apapun masalahnya. Aku mau pulang. Cerita ini seperti sinetron.”
Tave bangkit dan segera keluar dari kamar Nabila. Nabila hanya menatap sayu
langkah Tave yang perlahan menjauhinya.
Koridor itu terlihat
ramai. Banyak orang-orang yang mondar-mandir disana-sini dan sibuk dala
keperluannya masing-masing. Tave mengeluarkan handphone nya. Ia menekan tombol
hijau di handphone nya dan mengangkat teleponnya. “Aku segera kesana.”
“Dipukul oleh teman satu kosan denganmu? Bodoh
sekali. Kenapa tak membalasnya?” Tanya seorang lelaki yang duduk berhadapan
dengan Daffa.
Daffa hanya memejamkan
matanya. Otaknya masih sulit mengatakan hal yang ingin Ia katakan. “Aku tidak
tahu. Ia temanku, mana mungkin aku mau bertengkar dengannya. Dan kau juga tak
akan mlakukannya kan,
Rul?”
Lelaki itu, Irul Rid
malah menatap sinis Daffa. “Tentu saja aku akan membalasnya. Dia harus
merasakan apa yang sudah Ia lakukan padaku.”
“Sudah sudah…” seorang
wanita cantik meletakkan dua buah gelas diatas meja. “Yang berlalu biarkanlah
berlalu.”
“Terimakasih, Adis.” Ucap
Daffa meneguk air yang disediakan oleh wanita itu.
“Sama-sama.” Adis
tersenyum. Ia menoleh keluar, “Sepertinya kita kedatangan tamu.”
“Ada apa sih? Hari libur begini menyuruhku
datang? Mengganggu saja.” Tave melangkahkan kaki nya dan masuk kedalam rumah
tersebut. Ia menguap lalu duduk disamping Daffa. Ia menatap wajah Daffa yang
membengkak. “Kalau kau punya pacar, kenapa kau tak minta pacarmu untuk
mengobatimu?”
Daffa melirik sekilas
pada Tave, “Apa boleh buat, Ia juga shock.”
Tidak perlu bicara
panjang lebar, Tave sudah tahu masalahnya. Ia memang tipe orang yang tidak
terlalu peduli terhadap sekitar, semua orang memiliki masalahnya, tak ada yang
perlu dipermasalahkan lagi. Begitulah pikirnya.
Losmen yang mereka
tempati tidaklah besar. Hanya cukup untuk tempat tinggal mereka. Irul adalah
pemilik Losmen tersebut. Ia adalah sosok yang mengerikan dan tidak berperasaan.
Tave bangkit dan melangkah
pergi menjauhi Irul dan Daffa. Ia memejamkan matanya dan akan menuju kamarnya.
“Hei, kalau kau memang
keponakanku, bantulah aku.” Ujar Daffa menghentikan langkah Tave. Tave hanya
memejamkan matanya dan kembali berjalan, “Suruh saja Nissa, adikmu.”
Abang Mayutata mendengus
kesal. Tak ada seorangpun yang berada dirumah Ivan. Padahal, Ia
sudah membawakan makanan untuk mereka berdua, Ivan dan Mei. Didalam rumah
tersebut, hanya terdengar suara musik klasik yang diputar oleh radio tua.
Namun, suara nya tetaplah menenangkan hati.
Mayutata melangkah menuju
ruang makan dan meletakkan makanan yang Ia bawa
diatas meja makan. Padahal
Ia berencana untuk membuat Sunday
surprise dihari libur yang menyenangkan baginya.
Terdengar suara pintu
dibuka. Mayutata segera menoleh dan menuju pintu tersebut. Ia sudah mengira bahwa
Ivan dan Mei lah yang memebuka pintu tersebut.
Tapi, Ia salah menduga.
“Sejujurnya, saya tidak
suka teman saya diperlakukan kasar seperti itu.” Ujar seorang lelaki yang
berdiri di ambang pintu. “Dimana Mei? Kau pasti mengetahui nya.”
Mayutata hanya diam
mematung. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan lelaki itu. Kembali Ia
mengerjapkan matanya, “Apa?”
“Kau terlalu berlebihan
padanya,” lelaki itu menengok kearah sumber suara, “Dia tidak berdosa sama sekali.
Tinggalkan saja.” Ujar Tave dengan berpangku tangan.
“Kau tahu dimana Mei?”
Tanya lelaki itu kembali.
Mayutata hanya
menggeleng-geleng. Ia merasa berpikir lambat.
Tanpa ada kata salam
pamit, Lelaki itu dan Tave meninggalkan rumah tersebut. Mereka masuk kedalam
mobil dan duduk dibangku belakang.
“Nihil.” Simpul Tave.
“Kukatakan sekali lagi ya
bahwa kalian ini berlebihan! Daffa, kau juga, tidak perlu berbalas dendam pada
teman sekosan-mu. Lupakan saja masalah itu.” Omel sang sopir cerewet. Ia adalah
Nuka yang terkenal dengan kemahirannya mengemudi mobil.
“Aku setuju.” Ujar Tave.
“Dan kau Jean, kenapa tidak segera kau tinggalkan saja manusia lambat yang
menyambutmu di pintu tadi?”
“Kau selalu meremehkan
orang. Bisa saja dia memberikan informasi yang kita sendiri tidak pernah tahu?”
“Dan itu tidak akan
terjadi”
Ivan menendang bola nya
dengan keras. Ia merasa sangat tertekan dengan kondisi kakak sepupunya saat
ini. Tentu saja ini adalah sebuah masalah besar. Ia merasa, Ia harus segera
berbicara pada Daffa. Lalu Ia mengeluarkan handphone nya,
“Halo, Daffa-senpai. Bisa
bertemu denganku sebentar?”
Lapangan itu terlihat
sangat ramai. Banyak orang yang tertawa disekitar lapangan itu. Ivan menoleh
sana-sini mencari sosok Daffa. Tak lama kemudian, Ia temukan sosok itu dan
menghampirinya.
“Astaga Daffa-senpai, apa
yang terjadi dengan wajahmu?” Ivan shock melihatnya.
Daffa hanya menatap
junior nya yang sangat dekat dengannya, “Tidak apa-apa. Ada apa memanggilku?”
Ivan mulai salah tingkah.
Ia takut apakah perkataan ini akan membuat Daffa membenci nya. Ia tak perlu
berpikir lagi, Ia segera mengutarakan maksud dan tujuan Ia memanggil Daffa
kemari. “Ini tentang kak Mei…”
Mata Daffa terbelakak. Ia
menatap lurus keramaian seseorang. Rizy dan Mei yang sedang berjalan melewati Lapangan.
Peran gue..super ngenes. #okesip
ReplyDeleteYah begitulah bang (--,)
ReplyDelete