Saturday 26 November 2016

Harap – Harap

Ada banyak alasan kenapa kita kecewa. Penolakan, pengabaian, penantian, serta berbagai macam hal yang menyangkut kegelisahan hati. Barangkali yang ditunggu tak kunjung singgah, atau usaha maksimal belum juga menelurkan hasil.

Ada banyak perantara yang membuat kita kecewa; tulisan-tulisan yang tidak sengaja kita baca saat scroll timeline sosial media, ucapan kawan yang membuat hati resah, atau pesan pribadi yang belum juga direspon doi.

Banyak hal mampu mengantarkan kita pada kekecewaan. Barangkali karena kita tidak menaruh harap kepada Yang Maha Memberi dan Mengabulkan. Mungkin tanpa sadar kita kita sudah berharap pada manusia, sehingga tiap kali meleset, kecewanya amat berat sangat. Padahal kita tahu manusia sangat berbatas; banyak kurangnya dan seirngkali khilaf.

Tapi refleks kita kadang kali berkhianat. Meski kita paham perihnya berharap kepada selain Allah, kita (kadang kali) tetap melakukannya. Antara terbius—atau merasa bahagia. Bahkan sampai sepenuhnya memercayakan pengharapan pada yang dicinta. Namun kita tahu ini yang terbaik. Segala yang terjadi dan akan terjadi adalah kebaikan.


Sebab dengan rasa sakit itu kita lagi-lagi diajarkan tentang luka pengharapan. Bahwa salah besar jika melabuhkan harapan pada manusia—tidak peduli seberapa besar cintanya—pada akhirnya (lagi-lagi) sesak dada yang diterima. 



Membatasi diri itu perlu (di beberapa situasi), namun jangan sampai kehilangan harap. Kita bangun karena harapan, bangkit dan berjuang karena berharap, berjumpa karena mengharap, dan tidur lagi juga karena memiliki harapan—untuk esok yang baik. Tapi pastikan harapannya tertuju kepada Yang Maha Memberi Nikmat Mengharap. 
Allah dulu, Allah lagi, Allah terus!
.
Ciao! XOXO
.
referensi :
“Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” [QS. 94:8]
.
Bekasi, 26 November 2016

Friday 25 November 2016

Sepatutnya Hamba Menerima

Seringkali hidup tidak berjalan semestinya. Seringkali yang terjadi di luar ekspetasi. Belakangan, ‘berharap’ menjadi sebuah keraguan—karena membayangkan sakitnya jatuh, atau membiarkan diri dijatuhkan. Banyak hal dapat memengaruhi hati, mengontrol tindakan, mengubah pola pikir, mengokohkan keteguhan, atau juga meruntuhkan keyakinan. Sebenarnya, nggak ada yang salah sih dengan itu, selama hati tidak bimbang, maka pilihan itu benar.
Setiap kali badai menerpa, kita selalu meminta agar dikuatkan. Agar tetap berdiri kokoh menantang kisruh laju angin. Agar mampu melangkah meski udara berbalik menyerang. Agar terus menatap walau jutaan pilu paksa memerihkan mata. Dan kita selalu berdoa agar bisa terus melangkah dan menerima realita—agar dilancarkan menaklukkan gurun cobaan.
Pada dasarnya, kita semua lemah.
Pada dasarnya, kita semua cengeng.
Lalu kita diajarkan dengan latihan; mengatasi memar, bengkak, hingga berdarah. Kita diminta sadar bahwa hidup adalah rangkaian proses menjahit luka. Dengan benang kesabaran dan teknik merajut bahagia.
Usai sukses melewati puncak, kita melandai. Bertemu lagi dengan banyak cerita. Diajari lagi tentang sesuatu. Suatu hal yang mampu diterka tergantung dari sudut mana kita memandang. Kita bebas memilih untuk bersyukur atau mengeluh—karena keduanya benar. Sebab kita adalah manusia dan keduanya sifat alamiah.
Barangkali dengan bersyukur kita akan bertahan di lingkar bahagia. Atau mengeluh sampai lelah—hingga menemukan jawaban, dilakukan atau tidak, semua sudah terjadi, dan akan tetap terjadi. Lalu bisa jadi kita belajar tentang ikhlas. Tentang menerima. Tentang merelakan.
Namun, bagian terbaik dari semua itu adalah, kenyataan bahwa Dia memilihmu. Untuk berjuang di jalan ini. Untuk bertahan di jalur ini. Untuk menyadarkan kamu adalah yang terpilih. Diajadikan kamu  berkeluh kesah sebagai bukti cinta. Dia jadikan kamu lemah agar bergantung pada-Nya.
Mungkin memang begitulah hakikat cinta.
Dengan ujian, rintangan, beban, air mata, darah, sakit—agar kembali pada-Nya. Agar tak lupa siapa diri kita sesungguhnya.
Bahwa kita adalah hamba. Budak-budak yang diberi kenikmatan untuk mencinta. Untuk mensyukuri. Untuk berkeluh kesah. Untuk bahagia. Untuk menjalani skenario yang sudah lama dituliskan.
Karena pada dasarnya kita adalah hamba. Yang harus mampu menerima, meski segalanya terjadi tidak sesuai kemauan hati, meski harus mengaratkan mimpi, karena kita adalah hamba.
Dan sepatutnya hamba menerima.
“…. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. 2:216]
Bekasi, 25 November 2016 (posted on : http://strongestinuniverse.tumblr.com/post/153624744987/sepatutnya-hamba-menerima )

referensi : 
“…. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan… —” [QS. 22:78]

Wabishah bin Ma’bad mendatangi nabi, lalu beliau bersabda, “Engkau datang hendak menanyakan perihal kebajikan?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Mintalah fatwa pada hatimu sendiri. Kebajikan itu ialah yang membuat tenang jiwa, juga membuat hati tenang merasakan. Sedang dosa ialah apa-apa yang engkau rasakan bimbang dalam jiwa serta berbolak-balik, sekalipun orang banyak telah memberikan fatwanya padamu.” 
(HR. Ahmad dan Ad-Darimi)

Tuesday 5 April 2016

Menulis adalah Cinta


Setiap dari kita adalah penulis.
Penulis cerita hidup, cerita orang lain, cerita hati, cerita diri sendiri.
Setiap dari kita tidak luput dari menulis.
Tentang apa yang kita tulis melambangkan diri kita.
Apa yang kita ceritakan, kita deskripsikan, kita jelaskan, kita gambarkan, kita curahkan,
Itu adalah diri kita sendiri.

Saat kita menulis tentang sesuatu, menunjukkannya pada dunia, hakekatnya kita sedang menampilkan diri kita sendiri. Lewat cerita, lewat rangkaian kata, lewat penyaluran rasa, kita sedang mengekspresikan diri sendiri.
Menulis adalah cinta.
Cinta kepada sesuatu, kepada hal-hal yang dianggap menakjubkan, kepada Pemilik Cinta.
Kita sedang menunjukkan cinta.
Saya, Anda, Kita.
Apa yang kita suka dan lakukan, semata-mata karena cinta.


Salsabila
5 April 2016

Wednesday 30 March 2016

Sejatinya Kita Selalu Belajar


Udah lama gak ngeblog, dan lagi feels juga, saya mau buat opini (cuap cuap aja sih) yang selama ini selalu nyangkut di hati.
Tentang problematika kehidupan yang selalu turut serta menghadiri aktivitas kita.
Pernah nggak sih ngerasa, “Apaan sih gue salah mulu, kapan benernya.” Terus abis itu suara batin bicara, “Gapapa, ini bisa jadi pelajaran. Sesuatu ini ada hikmahnya.”
Terus kalo begitu terus, kapan benernya ini idup???
.
Kemudian sisi lain saya bicara.
Pernah pada suatu hari saya terinspirasi dengan seseorang, sebut saja A. Saya merasa A ini sangat hebat dalam bidang yang saya sukai. Sehingga terpikir di benak saya, saya mau jadi seperti dia. Dalam ilmu sosiologi, istilah ini disebut ’Identifikasi’ yang artinya: suatu kecendrungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain (meniru secara keseluruhan).
Dalam kasus ini, apakah A berhak membenci saya karena saya sudah menirunya?
Jawaban saya mutlak, tidak.
Karena A ini sudah menginspirasi orang banyak (termasuk saya) sampai-sampai membuat orang lain ingin jadi seperti dia. Seandainya dia dan wawasannya tidak muncul di publik, maka dia boleh marah—tapi ini beda lagi kasusnya, bisa jadi disebut plagiarisme.

Sejatinya kita selalu belajar.
Setelah saya meniru cara A dalam menuangkan ide dan tulisan, sesuatu mengalir dalam diri saya. Spirit baru yang mengatakan bahwa saya harus lebih hebat dari A. Ini alamiah, saya rasa mayoritas orang pasti merasakannya. Saat itu saya ada di tahap di mana saya harus lebih baik dan lebih baik lagi. Saya belajar dari banyak hal untuk melebihi si A ini.
Hingga akhirnya saya mencampurkan cara A dengan cara saya sendiri (sebut saja B). Dari situ saya mendapatkan suatu hal baru, C.
Saya terus latihan, mencoba, mengulang-ngulang, dan saya meyakini satu hal. Saya mendapatkan jati diri saya, yaitu C. Saya berpendapat, inilah gaya saya, ciri khas saya, C.
Untuk beberapa saat saya merasa nyaman dengan gaya saya sendiri. C ini adalah saya. Tanpa campur tangan dan meniru si A. Saya merasa sudah banyak belajar sehingga mencapai jati diri saya sendiri.
Lalu tiba saat saya bertemu dengan hal baru lagi. Seperti yang sudah saya ungkit sebelumnya, kita selalu belajar. Segala sesuatu hadir, tanpa kita sadari, kita mempelajarinya.
Saya bertemu dengan D dan merasa sangat terpukau. D ini sungguh menginspirasi, layaknya A yang mampu merubah sudut pandang saya terhadap suatu bidang. Lalu kejadiannya sama seperti A sebelumnya, saya mengidentifikasi dan mempelajari hal baru.
Dalam proses belajar tentunya akan ada masalah dan perasaan tidak enak hati yang berasal dari lingkungan. Perasaan resah dan gelisah berawal dari faktor eksternal. Inilah belajar. Bagaimana cara kita memandang, menerima, merasakan, dan yang lebih penting lagi, memaafkan—baik itu diri sendiri mau pun orang lain.
Akan ada pihak luar yang protes, tidak suka, serta menghujat. Pihak luar ini akan berkata banyak hal mengenai kesamaan kita dengan orang lain.
Lalu pertanyaannya sama, apakah D berhak marah kepada saya?
Tidak. Sama sekali tidak.
Meniru itu hal lumrah. Dan orang yang sudah menerbitkan ide dan gagasannya ke publik berhak menerima segala konsekuensi. Disukai, dibenci, dihujat, dan segalanya. Namun kalau kasusnya plagiat, itu lain cerita.
Kita semua adalah public figure. Apa pun yang kita lakukan, kita katakan, kita rasakan, semuanya bisa jadi bahan pembicaraan orang lain. Media publik sungguh keras, dan kita belajar dari semua itu untuk menahan diri dan memendam segalanya. Ada baiknya punya teman dipercaya, agar hidup jadi lebih bermakna.
Kembali ke D.
Sebutlah saya menggabungkan ciri khas saya dengan D, terbentuklah E. Dalam hal ini, saya dalam proses belajar.
Lagi-lagi belajar.
Lalu, kapan kita menjadi diri sendiri?
Jika setiap hari kita menemukan hal baru dan belajar lagi dari sana, kapan kita akan menemukan jati diri?
Dari situ saya mendapat ilham.
Sejatinya hidup ini adalah pelajaran. Barang siapa terus menengok ke belakang, mendengarkan semua perkataan dunia, maka hidupnya dipastikan sempit.
Di setiap proses pembelajaran, kita akan selalu menemukan orang yang berkebalikan, bertolak belakang. Penjilat, pengkritik, pemberi saran, juga pendukung bayangan. Yang perlu kita lakukan hanya melangkah, bergerak maju tanpa menoleh ke belakang. Jika suatu perkataan itu baik maka dengarlah. Dan jika buruk, maka tolaklah. Ini cara terbaik agar kita selalu bahagia, menikmati hidup, dan menyukai hal-hal yang sedang kita pelajari.
Kendatinya hidup adalah pelajaran. Setiap hari kita menemukan hal baru. Jika kita suka, kita akan mematrinya dalam hati dan berniat mempelajarinya. Lalu keesokan harinya kita menjadi pribadi yang baru, yang lebih bermanfaat. Banyak hal yang baik, tergantung dari sudut mana kita memandang.
Lalu yang lebih penting lagi, banyaklah bersyukur. Dengan bersyukur dan sabar hidup jadi bahagia.
Dan apakah dengan adanya hal-hal dan inovasi baru yang selalu eksis dalam kehidupan, kita jadi tidak bisa menentukan jati diri (sebab kita selalu belajar)?
Jawaban saya, proses belajar adalah jati diri itu sendiri. Perubahan adalah gaya hidup itu sendiri. Ketika belajar kita akan memperoleh kebijaksanaan, kebahagiaan, keresahan, kesulitan, ketidakpedulian, kesenangan, dan itulah yang menjadikan kita sekarang.
Maka saya meyakini, setiap saat kita belajar, dan itulah jati diri kita sendiri.

Salsabila, 30 Maret 2016
22:15