Sunday 4 August 2013

Langitnya cerah, ya?



“Langitnya cerah, ya?”
Itulah yang pertama kali terngiang di benak Veren, gadis SMP berumur 14 tahun yang sedang menempuh kehidupan baru. Kehidupan barunya ketika ia baru saja pindah sekolah dari sekolah swasta ke sekolah negri berstandar Internasional. Bisa disebut kuno atau kuper, tapi inilah Veren Putri. Si tokoh utama yang kehilangan sandal sebelah kanannya dan bertemu dengan sesosok lelaki Cina—sebangsa dengannya, dengan kacamata super tebal.
Bukan hanya itu, mata si lelaki juga sipit. Culun memang perawakan sang lelaki yang menemukan sebelah sandalnya yang hilang, tapi penampilan culunnya tetap bisa memikat hati Veren. Tidak, tidak, bukan berarti Veren menyukai lelaki yang berjiwa pahlawan—karna menemukan sandalnya itu.
Memang benar saat itu Veren sedang krisis sandal dan jika sebelah sandalnya yang hilang tidak di temukan, maka ia tidak akan bisa pulang kerumah. Berhubung malam sudah larut dan ia bertemu dengan sesosok lelaki aneh yang mengatakan, “Langitnya cerah, ya?”
Seketika Veren terdiam sejenak, memtaung seperti batu menatap sosok lelaki yang datang membawa sebelah sandalnya sambil menengadah ke langit gelap malam itu. Veren tidak tahu apa yang sedang di pikirkan oleh lelaki itu, tapi yang jelas perkataan langit cerah di malam hari merupakan sebuah kesalahan baginya.
Seandainya lelaki itu mengatakan, ‘Bintangnya cerah, ya?’ atau ‘Sinar yang di pancarkan oleh bintang di langit malam begitu cerah, ya?’, itu baru normal. Tapi justru ketidak-normalan inilah yang membuat kutipan kata itu selalu terngiang-ngiang di benaknya.
Sebutlah lelaki itu Siddhi Mulja, cowok culun berkacamata tebal dan berjiwa pahlawan. Dialah pahlawan malam di bawah naungan langit cerah. Astagay, memikirkan itu saja membuat Veren luluh.
“…Veren?”
Siddhi… bagaimana mungkin ia bisa tertarik dengan cowok culun begitu?
“VEREN PUTRI!!!”
Gadis itu mengerjapkan matanya. Baru saja namanya di panggil dengan teriakan kolosal dari seorang ibu-ibu berkepala empat. Maksudnya adalah umurnya empat puluhan, di ketahui namanya adalah Meivita apalah gitu, Veren lupa.
“Kamu siswa baru tapi banyakan bengong! Perhatikan saya mengajar!”
Bukankah seharusnya siswi? Apakah penampilan Veren terlihat seperti lelaki sehingga membuat bu Meivita menyebutnya siswa?
Oke ini tidak penting.
“Kenapa malah bengong?! Cepat lihat bukumu!”
“Aku hanya bingung, bu…” sanggah Veren cepat seraya berdiri—naik ke atas bangkunya, “kenapa siswa? Bukankah seharusnya siswi?”
Sang guru melangkah menuju mejanya dan mengambil sebuah penghapus papan tulis berbentuk persegi panjang itu dan menggenggamnya erat. Lalu ia ayunkan tangannya dan melemparkan benda tersebut tepat ke arah Veren.
DUAK!
BRUK!
***
“Siddhi Mulja? Tidak ada nama seperti itu di sekolah ini…”
Itulah jawaban yang di terima oleh Veren siang ini. Tidak, ia tidak terima jawaban ini. Hingga manakah ia harus mencari keberadaan sang lelaki yang telah meleburkan hatinya seperti besi di panaskan itu hilang? Oh ini tidak bisa di terima. Hanya bertanya-tanya di sekitar sekolah tidak akan mendapatkan apapun.
“Siddhi Mulja? Wah Om gak tau tuh, neng.”
Veren garuk kepala. Baru saja ia bertanya pada cleaning service sekolahnya. Sengaja di panggil cleaning service, biar keren. Berhubung ini adalah sekolah Internasional, tidak afdol jika menyebutnya ‘tukang bersihin sekolah’. Veren paham benar aturan tersebut. Aturan dari sekolah Internasional bernama deceef yang menarik perhatiannya.
Kembali berlari, mengejar mimpinya. Mimpi untuk menemukan kembali sosok bermana Siddhi Mulja.
Tiba-tiba ia menubruk seorang lelaki dan buku-buku yang di pegang lelaki itu berhamburan. Ia segera meminta maaf dan membantu lelaki tersebut memungut buku. Lalu tangan mereka bersentuhan dan mata mereka bertatapan…
Astagay, apa yang sedang di pikirkan Veren?! Seharusnya ia bertanya pada tukang kebun sekarang, bukan mengkhayal cerita seperti di sinetron! Veren memejamkan matanya sambil menggeleng cepat, berusaha menolak khayalan yang semakin berkembang dalam pikirannya.
Bruk!
Kali ini ia benar-benar bertabrakan.
“Akh!” erangnya sambil memijat keningnya yang kebetulan suka di sebut jenong. Ia membuka matanya, menatap apa yang baru saja menyakiti keningnya.
Tembok.
Ia menghela nafas. Inilah perbedaan sinteron dan realita. Di sinetron kau akan bertemu dengan orang yang kau idamkan dengan cepat. Sementara kenyataannya, kau harus merasakan sakit—ditabrak tembok—baru bisa menemukan orang yang kamu cari.
Begitulah pesan moral yang di dapatkan oleh Veren siang hari itu, Author melaporkan. #salah
“Lho? Tadi udah tanya babeh Aldy si tukang bersihin sekolah—eh, maksudnya klining serpais? Babeh Ipan juga gak tau apa-apa neng. Btw, neng anak baru, ya?”
“Ya jadi babeh Ipan juga gatau apa-apa? Yaudahlahya…” keluh Veren dan berbalik, pergi meninggalkan si tukang kebun sekolah.
Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru kebun sekolah, mencari sosok yang bisa ia tanya lagi. Rumput hijau yang sudah di potong rapih? Tidak, rumput tidak punya jawaban. Buah ceri? Lagi puasa, ia tidak bisa memakannya. Bangku taman? Tidak, itu bangku kebun. Tidak bisa di sebut bangku taman selama bangku itu berada di area kebun sekolah, sekalipun modelnya seperti bangku taman.
Veren duduk di atas bangku berwarna cokelat tersebut. Ia mengibas roknya dan menghempaskan bokongnya keras, dan Bruk!
“Astagay!” pekiknya latta, kebiasaan.
Ia segera mengusap bokongnya yang di lapisi rok biru super tebalnya sambil mengerang pelan. Sepertinya perjuangan untuk mencari sosok Siddhi Mulja akan menyulitkannya.
Tidak! Walaupun ia sudah ditimpuk penghapus papan tulis, menabrak dinding serta jatuh dari bangku kebun yang sudah rapuh, ia tetap tidak akan menyerah! Siddhi, aku pasti datang padamu!
“Kamu baik-baik saja?”
Pupil matanya melebar. Dengan slow motion dan penuh dengan harapan serta khayalan-khayalan positif terngiang di benak Veren, gadis itu menoleh ke arah sumber suara di sampignya. Yang pertama kali ia lihat adalah sebuah tangan terjulur ke arahnya. Kulit cokelat diterpa sinar matahari di tengah kebuh sekolah, di bawah kuasa bangku rapuh yang sudah menjatuhkannya, Veren mengangkat wajahnya. Menatap sosok pemilik tangan yang terjulur padanya itu.
“Neng baik-baik aja?”
Kampret!
Sosok bapak-bapak berkulit cokelat itu ternyata si tukang jaga kebun. Hancurlah fantasi Veren. Tak ada lagi yang bisa di lakukannya. Harapannya hancur.
Ingin rasanya ia menangis di bawah derasnya hujan yang turun. Tapi sayang, siang ini langitnya cerah.
Langitnya cerah?
“Langitnya cerah, ya?”
Veren mendongak, menatap sosok babeh Ipan. Tapi si bapak-bapak tukang kebun itu langsung menggeleng cepat, “Bukan, bukan saya!” serunya seperti sedang di todong pistol berpeluru empat.
Veren memalingkan wajah, ganti memandangi sosok lelaki berkulit putih yang datang menghampirinya dan babeh Ipan, si tukang kebun. Semilir angin di tengah kebun, di sisi sang penjaga kebun, rumput yang bergoyang kini menjawabnya, buah ceri di pojokan kebun sana kini sengaja melepas dirinya, bangku rapuh yang baru saja mencelakainya kini terasa tenang sekali, tidak merasa dosa.
Mulut gadis lugu itu menganga lebar, siap menerkam orang yang baru saja datang.
“Langitnya cerah, ya?” si cowok culun berkacamata tebal mengulang kutipan kata favoritnya, sambil melangkah elegan menginjak bunga-bunga di sebrang sana yang sudah jelas di pinggirnya ada tulisan ‘Berani injak? Mati’.

-to be continue-

Kata Author : Sampai kapanpun, langit selalu cerah. Mau gelap atau terang, teteup aja cerah. Ya update nya gak cepet ya, fyi aja sih.  #berasaFF #bodoah #emangpengennulisffnsih #tapigabisabisa #yaudahlahya #banyakanhestek #bodoamat #likelikeme