Wednesday 25 December 2013

Berbagi Rasa




# Special for my bornday #

Warning : Alur Cepat!
.
.
.
.
I’ve only use excuses to pretend I’m not hurting.
-00-
Sudah beberapa hari sejak aku pindah ke sekolah ini, Kurosaki Gakuen. Selama ini yang selalu menarik perhatianku adalah, sesosok gadis ceria yang selalu bergerak layaknya remote control baru di charge penuh. Dia orang yang sangat enerjik. Setiap waktu luang disekolah, ia habiskan waktunya untuk keluar kelas menuju kelas lain.
“Nakayao, bagaimana harimu kemarin? Menyenangkan?” tanya seorang lelaki berambut cokelat tersenyum kearah gadis itu. Ya, nama gadis periang itu adalah Nakayao.
Gadis itu mengangguk keras seraya tersenyum lebar. Seketika tempat duduknya ramai. Aku langsung sadar bahwa Nakayao lah, poros keramaian itu. Sudah lama aku tahu bahwa Nakayao disenangi semua orang.
Bel istirahat berbunyi. Sebagian siswa mengeluarkan bekalnya, dan sebagian yang lain pergi keluar kelas—termasuk Nakayao. Gadis itu bersenandung riang sembari melompat kegirangan keluar kelas. ”Mau ketempat Makoto lagi?” tanya seorang pria berkacamata diambang pintu.
Lagi-lagi gadis itu mengangguk—tak lupa senyuman lebar di wajahnya. Aku menghela nafas dan membuka kotak bekalku. Kusumpit gumpalan nasi beserta omelet buatan ibu, lalu melahapnya tenang. Kunikmati bekal ini dalam sunyi. Ya, semuanya mendadak sepi setelah gadis ceria itu pergi keluar kelas.
Semenit setelah itu, diluar kelas terdengar bising sekali. Aku mengintip dari jendela kaca, mendapati keramaian disudut lorong sana—didekat tangga. Masih ragu, aku letakkan sumpit dan pergi keluar kelas—bergegas menuju keramaian. Aku tak bisa menahan rasa penasaran lebih lama lagi.
Kini yang kulihat adalah sesosok gadis bertubuh ramping terbaring tak berdaya dibawah tangga sana. Itu adalah Nakayao. Apa gadis itu terlalu bahagia sampai tidak memerhatikan kecerobohannya? Manaku tahu. Yang kulihat adalah, kedua temannya langsung mengomeli habis-habisan sembari memapah dirinya. Sedangkan yang menjadi korban hanya terkekeh sambil tersenyum.
Aku menyadari keanehan gadis itu.
-00-
Hari ini aku datang terlalu pagi. Kulepaskan sepatu dan mengenakan uwabaki—lalu menaiki tangga dan menuju kelas 1B. Seperti yang kuduga sebelumnya, sepi. Aku segera menuju bangku didekat jendela dan duduk disana. Aku mengeluarkan sebuah buku bermata pelajaran ’Jepang Modern’ dari dalam tas dan membacanya. Pandanganku teralihkan pada sepasang insan dibawah sana. Aku menaikkan posisi kepala, mencoba mengintip kebawah. Seorang gadis periang dan seorang pria berbalut perban di kepalanya berjalan beriringan.
Itu Nakayao. Gadis itu terlihat tertawa riang sementara pria berkulit cokelat disampingnya terlihat menaggapi—namun ekspresinya datar. Kuperhatikan baik-baik, senyum yang indah. Beda dengan yang kulihat selama ini.
Kemudian aku melanjutkan aktivitasku.
-00-
”Sebentar ya, aku sedang menyelesaikan tugas. Sedikit lagi!”
Mataku mengekori. Seorang pria berkulit cokelat dengan lilitan perban di kepalanya  duduk diatas meja tempat Nakayao berada. Semenjak kedatangan pria itu, tak seorangpun menyapa Nakayao seperti biasanya. Sudah jelas, karna aku juga merasakannya. Keberadaan pria itu, membuat aura disekitarnya menjadi gelap, matahari seolah redup.
”Cepatlah.” ketus pria itu dingin.
Nakayao membalas dengan kekehan ringan sambil meneruskan aktivitasnya. Aku juga menyelesaikan catatanku. Guru Bahasa tadi terlalu cepat menerangkannya, aku jadi harus mengingat dan mencatat lagi apa yang dijelaskannya. Kemudian suasana terasa hening, mataku mengekori mereka lagi.
”Maaf, ya, aku menyusahkanmu lagi...”
Aku tak henti menatapnya. Wajah Nakayao berbeda saat ini. Wajah itu terlihat menyesal. Wajah sendu yang sangat langka sekali ia tunjukkan.
”Kalau kau meminta maaf lagi, kubunuh kau.” jawab pria itu dingin.
Kemudian Nakayo tersenyum, kembali tertawa.
Cukup lama aku memerhatikan gadis polos itu. Kemarin ia jatuh dari tangga, bukan? Tapi tidak ada memar ataupun bekas luka diseluruh tubuhnya. Aku melihat jelas kepalanya berdarah kemarin.
”Tsuyoshi-san? Kau belum pulang?”
Aku tersentak. Mata kami saling bertatapan sekarang. Aku ganti menoleh kearah pria berkulit cokelat yang kini menatap intens mataku. ”Kamu belum pulang?” tanya Nakayo lagi, lembut.
Masih berdebar, aku segera mengangkat buku catatanku, ”I-ini sebentar lagi selesai, haha...” tawaku hambar.
Nakayao balas tersenyum, lalu memasukkan buku-bukunya kedalam tas. ”Duluan, ya!” sahutnya riang. Pria berbalut perban di kepalanya itu mengekor dibelakang Nakayao, pergi keluar kelas.
Aku berhenti menyengir, menarik bibir yang terangkat menjadi datar.
-00-
Sudah beberapa hari setelah aku mendalami peran sebagai stalker. Pria yang selalu bersamanya itu bernama Makoto kelas 3A, yang selama ini digosipi sebagai kekasih Nakayao. Itu hanya gosip, jadi tidak terlalu pengaruh padaku. Terakhir kulihat, Makoto tampak sudah sehat. Kepalanya tak lagi dililit perban.
Detik demi detik, menit demi menit berputar. Nakayao sudah tiba dikelas dan langsung disambut hangat oleh seisi kelas. Ia tertawa sebentar, lalu menggaruk kepalanya. Kemudian ia mengeluarkan sebuah bukunya, menarik bangkunya ke mejaku—duduk dihadapanku.
”Boleh minta bantuan? Aku ingin kamu mengajariku PR Matematika...”
Ia memohon sambil memasang puppy eyes. Dia berhasil merayuku. Baru saja aku menarik buku PR nya, seorang lelaki datang sambil menepuk bahunya keras. ”Tumben tidak minta ajarin Makoto-senpai?”
”Uuuh, sakit tahu!” dengus Nakayo seraya balas memukul pinggul lelaki itu.
”Kemana dia?” tanya lelaki itu akhirnya, setelah lama bercanda.
Nakayao terlihat berpikir. Kemudian ia menjentikkan jarinya, ”Tidak tahu, absen mungkin.”  
Ambigu. Jawabannya terlalu mencurigakan untuk disebut jujur. Mataku mengekor lagi, senyum diwajah itu menghilang sesaat setelah lelaki itu pergi. Kali ini, aku terus perhatikan wajahnya. Namun gadis itu tak balas menoleh padaku. Semua orang seharusnya risih jika dipandangi serupa ini. Tapi dia tidak.
Ekspresinya. Apa ia sedang lari? Lari dari masalahnya. Lari dari tatapanku. Lari dari pertanyaanku. Lari dari semua kemungkinan yang ingin kulontarkan.
Ia mengangkat wajahnya, ”Aku tidak mengerti yang ini,” ujarnya seraya menunjuk nomor tiga. Aku mengangguk dan mencermati soal matematika itu.
”Rumahmu dimana, Tsuyoshi-san?” tanyanya menyengir.
Aku terdiam sejenak, lalu menjawab. ”Didekat persimpangan Shibuya.”
”Hooo...” ia mengangguk pelan. ”Rumahku di Nakano, dekat dengan Shibuya. Hari ini kita pulang bareng, ya!” serunya riang.
Senyuman itu... janggal. Sesaat setelah ia fokus pada PR Matematikanya, aku menangkap sesuatu. Aku tahu bahwa wajah itu palsu.
-00-
Ini hari libur. Yang kulakukan adalah pergi ke perpustakaan kota di Nakano, meminjam buku untuk refrensi. Setelah turun dari stasiun Nakano, aku menapakkan kaki ditempat yang sudah biasa kukunjungi. Pandanganku tak henti melihat orang lalu-lalang, seolah aku adalah kamera yang sedang merekam mereka semua. Memang tidak seramai di Shibuya.
Aku melangkah pelan dan mendapati kerumunan disana. Seorang pria dan berandalan lainnya terlihat sedang memukulkan tongkat besinya ke segala arah. Ada beberapa orang yang terpukul, menciptakan jeritan yang sangat keras. Kudapati sepasang manusia sedang bergandengan tangan disana, itu adalah Nakayao dan Makoto-senpai yang baru saja keluar dari rumah sakit Nakano.
Aku segera bersembunyi dibalik pohon besar dipinggir jalan ini. Aku tidak langsung lari, karna ingin memastikan bahwa Nakayo sudah pergi dari tempat ini,  tempat dimana tawuran massal terjadi. Kericuhan menyebar diseluruh distrik Nakano.
Mataku terus menghujam kedua manusia itu. Sebuah tongkat besi melayang tepat diatas kepala Nakayao, tanpa gadis itu ketahui. ”Nakayao, awas!!!” pekikku refleks keluar dari tempat persembunyian. Namun aneh.
Makoto. Pria itu mendorong tubuh Nakayo pelan, memposisikan tubuh gadis itu kearah lajunya tongkat besi. Aku menganga. Kemudian Nakayao memasang wajah garang dan menarik kerah kemeja Makoto, membalikkan posisi mereka. Dan ’BUUK!!!’
Aku semakin menganga. Sirine mobil polisi terdengar saat itu juga. Para pelaku tawuran perlahan bubar. Orang-orang berpakaian khusus terlihat menangani para korban yang terluka—termasuk Makoto senpai. Tangan pria itu tampak mencengkram udara dan menatap garang kearah Nakayao. ”Sial kau...” lirihnya. ”Sial kau—Nakayao...!”
Kemudian gadis itu menunduk. Aku berlari menghampirinya, ”Apa yang kau lakukan?!” seruku cepat.
Tapi gadis itu tidak mengindahkan perkataanku dan beranjak, terus berjalan memunggungiku. ”Apa yang kau lakukan pada orang yang kau sukai?!” seruku lagi.
Ia menghentikan langkahnya, kemudian melambai sedikit. ”Sayonara, Tsuyoshi-san.”
Sayonara. Terdengar dingin dan sepi.
-00-
Hari ini, pelajaran pertama sengaja dikosongkan untuk dijadikan waktu berkabung. Aku melihat tragedi itu, jadi bisa kutebak untuk siapa acara berkabung ini dilaksanakan.
In memorian : Nakayao Kuroihomura
Aku mengerjap. Apa yang kulihat adalah sebuah keanehan. Kami berkabung untuk Nakayao, untuk gadis itu. Padahal yang kemarin terluka parah adalah Makoto-senpai. Kudengar gosip-gosip di segala penjuru, ada yang mengatakan bahwa Nakayao bunuh diri. Adapula yang mengatakan ironisnya cinta bisa merebut nyawa.
Rasa penasaran yang tinggi membawaku berpijak di rumah sakit Nakano setelah pulang sekolah, hari ini. Usai bertanya pada resepsionis, ia memberitahu kamar Makoto-senpai berada di lantai dua nomor 33. Aku bergegas dan masuk setelah diizinkan oleh perawat yang memberikan jangka waktu untuk menjenguk.
Setelah mengetuk pintu dan diperbolehkan masuk, aku segera mengenalkan diri, ”Aku Tsuyoshi Nakanishi, teman Nakayao-san.”
”Oh,” dengusnya seraya memalingkan wajah.
Aku perhatikan seluk-beluk tubuh pria itu. Tak ada luka sama sekali. ”Luka anda cepat sekali sembuh, ya?” dan pertanyaanku membuat pria itu menoleh, ”kepala. Seharusnya bagian itu tidak bisa sembuh secepat itu, apalagi yang menghantamnya adalah besi.”
Ia terbisu. Kemudian membuka mulutnya, ”...Kau melihatnya?”
Aku mengangguk. Tidak lama setelah itu, Makoto-senpai duduk bersila diatas ranjangnya, membuat selang-selang infus itu terlepas. Ia lalu turun dari sana dan menapakkan kakinya, berdiri kokoh. ”Lihat, aku sama sekali tidak sakit. Kupikir kau mengerti.”
Mataku membelakak. Aku tidak percaya dengan asumsiku, tapi tak kusangka ini serius. Aku menghela nafas berat, ”Kalian... berbagi rasa sakit?” pertanyaan raguku membuatnya mengangkat alis. Aku meneguk ludah, ”Maksudku... jika Nakayao menderita, maka kamulah yang merasakannya... dan sebaliknya...”
Makoto-senpai berbalik dan mendaratkan bokongnya acuh diatas ranjang. Ia bersila tangan, ”Kau benar. Benar sekali,” dengusnya, ”sudah kukatakan padanya, aku tidak peduli ia harus ditabrak truk sekalipun. Tapi dia masih saja keras kepala.”
Pecah semuanya. Benang yang kusut ini, sekarang terurai indah. Alasan kenapa luka Nakayao sembuh dalam sehari adalah, karna luka itu berpindah ke Makoto-senpai. Alasan kenapa Makoto-senpai masuk rumah sakit adalah, karna Nakayao terluka lagi. Alasan kenapa Nakayao mendorong Makoto-senpai saat tragedi tawuran masal itu adalah... karna Nakayao tidak ingin Makoto-senpai meninggal.
”Setelah kematiannya, aku akhirnya terlepas dari kutukan brengsek ini.”
Panas. Mataku panas. Dadaku terasa sesak. ”Maaf...” lirihku. Kini aku merasakan bahwa diriku mulai terisak, ”maafkan aku...”
”Jangan meminta maaf, kau membuatku muak.”
”Maaf...” lirihku lagi. Lengan kemejaku menggesek mataku dengan keras, aku yakin wajahku memerah sangat sekarang. Mau bagaimana lagi. Aku sudah kalah dengan orang ini. Aku kalah dengan orang yang berada di depanku ini.
”Sudah cukup. Untuk apa kau meminta maaf? Tak ada untungnya. Semua sudah berlalu.” ketus Makoto-senpai acuh.
Namun aku belum bisa menyudahinya. Aku masih terus terisak, mengakui fakta bahwa aku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan ini. Padahal aku bisa saja berlari dan menghalangi pukulan itu agar tidak mengenai mereka salah satu diantara mereka. Tapi aku terlalu pengecut untuk itu. Aku tidak cukup berani untuk melakukannya. Yang kulakukan hanyalah sembunyi dan menonton tanpa bertindak. Aku ini memang rendahan.
”Maaf menunjukkanmu sisi yang seharusnya tidak kuperlihatkan...” ujarnya membuat mataku mengekor. Pria itu duduk di ranjangnya sambil menunduk. Salah satu lengan menutupi sepasang matanya.  
Aku tidak tahu bahwa Makoto-senpai sedang menangis dalam bisu.


26 Desember 2013