Friday 15 March 2013

Planning

            “Kau lihat kampanye tadi? Itu sangat mengganggu.”
            “Benar juga. Kelompokmu akan turun dalam kasus ini.”

            Sore itu, Zalfa sudah bersiap-siap untuk menghadiri acaranya bersama Gubernur Daffa di Kotanya. Ia telah mencalonkan dirinya menjadi Gubernur untuk menggantikan Daffa. Mereka berdua bersama para pejabat lain berencana untuk berdiskusi satu sama lain dalam sebuah acara makan malam yang mewah yang diadakan di hotel berbintang lima.

            “Jadi bagaimana, Bos?” Tanya seorang lelaki yang berdiri dihadapan wanita berkostum serba hitam yang duduk diatas sofa empuknya.  
            “Kita akan mulai setelah mereka pulang.” Jawab wanita yang dipanggil ‘Bos’ itu berpangku tangan.
            “Baiklah. Nuka sudah menyelidikinya. Ia akan pulang sekitar jam 9 malam. Di mobilnya, Ia akan duduk ditengah diantara dua bodyguardnya. Izul akan duduk disebelah kanannya dan seorang bodyguard ‘asli’ miliknya akan duduk disebelah kirinya. Dua kursi didepan hanya terisi satu oleh supirnya. Mereka akan melintas pada jalan raya besar disebelah Utara. Mereka akan mengambil jalan memutar.” Jelas lelaki yang bernama Rafael itu panjang lebar.
            Yang dipanggil Boss berdeham, “Bagaimana kalau berjalan diluar rencana?”
            “Kita lihat saja nanti.”
            “Bereskan tempat persiapan.”

            Acara itu berlangsung besar-besaran. Calon Gubernur, Zalfa sangat menikmati suasana disana. Seringkali Ia tertawa.
            “Jadi apa rencanamu?” Tanya Daffa pada akhirnya.
            “Aku akan membersihkan Kota ini dari orang-orang yang mencurigakan. Termasuk aku akan menyelediki warga sipil. Terkadang, diantara mereka ada agen rahasia. Tapi sebenarnya hal ini dirahasiakan.” Ujar Zalfa pelan.
            Daffa mengerutkan dahinya, “Mana ada orang seperti itu. Sejauh ini, aku belum menemukan yang semacam itu.” Jawab Daffa tak kalah pelan.
            “Kau akan tahu setelah aku menjabat dan mengambil alih jabatanmu.” Seringainya.

            “Tetap pada posisi. Ia akan melintas dalam kecepatan normal 60Km/jam. Ganti.” Ujar Boss memberikan perintahnya pada sebuah earphone.
            “Aku sudah di posisi. Ganti.” Jawab Nuka yang sedang duduk di halte pinggir jalan.
            “Cih, bau sekali gedung tua ini. Ganti.” Ucap Nabila sambil menutupi hidungnya. Sniper yang akan Ia gunakan Ia letakkan diatas Jendela tempat Ia akan beraksi.
            “Aku juga sudah di posisi.” Ucap Anggi tenang sambil mengelap badan Snipernya.
            “Aku menunggu. Ganti.” Jawab Adis sambil memejamkan matanya.
            Baiklah, Ia akan muncul semenit lima puluh detik setelah ini.” Ujar Boss menekan earphonenya. Semua yang bertugas semakin siap dalam posisi mereka. Anggi telah menjepit sniper diketiaknya dan mulai mengekeri, begitupula dengan Nabila. Nuka yang memegang teropongnya mulai menggunakannya dan berdiri. Adis yang akan mengelabui calon Gubernur di posisinya.
            “Lewat.” Ujar Nuka menekan sebuah tombol pada layar ponselnya.
            “Aku akan tembak kepalanya!” ucap Nabila girang.
            “Semoga meleset. Jadi, Aku yang akan menmbaknya.” Jawab Anggi tenang.
            “Eeeeeeeeh?! Harusnya aku dong!” Nabila tidak mau kalah.
            Boss berdeham. Semua yang mendengar pada earphone nya seketika menjadi hening. “Adis kau siap?”
            “Oh sudah merah, ya? Baiklah.” Ucap Adis menggendong barang dagangannya menuju lampu merah, tempat Ia akan berjualan untuk mengelabui orang yang akan dibunuh.
            Saat itu juga mobil Zalfa berhenti karna lampu lalu lintas berganti menjadi merah. Semuanya berjalan sesuai dengan perhitungan. “Ada waktu 30 detik untuk memulai. Bersiap-siaplah. Kita akan menyelesaikan dalam detik ke 10.” Ujar Boss memberi perintahnya.
            “Siap~” kata Nabila dengan nada bangga.
            “Kepala Izul menghalangi.” Ujar Nuka pada teropongnya.
            “Mungkin bisa kena dari atas.” jawab Anggi.
            “Memang akan mengenai kepala Izul. Aku sudah mengaturnya. Cepatlah!” tukas Boss lantang. Mereka semua yang mendengar terkejut.
            “Oh, untuk mengorbankan lawan, harus mengorbankan teman juga ya…” seringai Nabila mulai menekan pelatuknya.
            “Kau akan membunuhnya, Boss?” Tanya Anggi menyipitkan matanya.
            Dilain tempat, Adis yang mengetuk kaca jendela Mobil sambil menawarkan makanan dan minuman, “Sayang anak, sayang anak, sayang anak~ dibeli tuan minumnya?” namun tidak dihiraukan. Bodyguard itu sama sekali tidak membiarkan kaca jendela terbuka. Hal ini bukanlah gangguan. Semua berjalan sesuai dengan perhitungan Boss.
            “Detik ke 10.” Ujar Boss.
            “Aku tahu.” Jawab Nabila menarik pelatuknya.
            “Izul, tali sepatumu lepas.”

Suara tembakan dengan peredam suara lepas.
Terjadi keheningan…
Kemudian jatuh…

            “Sudah? Cepat juga.” Ujar Anggi mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan mengelap bekas sidik jarinya disekitar bangunan yang Ia tempati.
            “Hahahaha! Akhirnya selesai!” teriak Nabila girang dan beranjak pergi meninggalkan bangunan tua itu.
            “Belum. Bereskan tempatmu. Besok kita akan bekerja lagi.” Jawab Boss cepat.
            “Eeeeeh? Besok aku akan pergi ke acara ulang tahun temanku!” tukas Nabila cepat.
            “Kalau begitu, aku akan membunuh temanmu besok.” Jawab Nuka dingin.
            Nabila mengeluh, “Kalaupun kau membunuhnya, aku akan tetap pergi untuk belasungkawa atas kematiannya!”
            Adis tertawa. “Itu lebih baik. Acara ulangtahun berlangsung sehari. Sedangkan belasungkawa kematian hanya sejam. Kau akan tetap bekerja setelah itu.”
            “Huh.” Dengus Nabila kesal.

            Mereka semua berkumpul disebuah kantor rahasia, The Deceef, setelah merampungkan tugas mereka. Rencananya, mereka akan membuat planning baru untuk menyelesaikan sang Gubernur yang akan lengser, Daffa Kresnanda.
            Pintu dibuka, “Fuh, tadi itu dekat sekali.” Ucap seorang lelaki yang terlambat.
            “Izul?! Kau masih hidup?” Tanya seorang lelaki yang sudah duduk ditempat rapatnya.
            Izul mengerutkan dahi, “Apa aku akan mati?”
            Saat itu juga, Boss menjelaskan semua yang terjadi pada Ridho, yang bertanya mengapa Izul masih hidup. Semuanya berjalan sesuai rencana. Saat peluru akan menembus dan bersarang dikepala calon gubernur itu, Izul telah diperintahkan untuk menunduk. Tentu saja Ia tahu karna Ia sendiri menggunakan earphone dan mendengar intruksi bahwa tali sepatunya lepas. Izul mengikat tali sepatunya dan saat itu juga peluru diatasnya melayang menuju kepala sang calon Gubernur, majikannya. Setelah itu, Izul mengundurkan diri dari bodyguard mendiang Zalfa dan datang ketempat ini.
            Semua agen yang ada disana tampak antusias dan mengangguk datar. Boss mereka selalu terlihat mengerikan dalam memberikan misi.
            “Dia akan pulang dari pemakaman jam dua siang ini. Ridho, kelompokmu akan turun.” Ucap Boss memberi perintahnya.
            “Beri aku rinciannya.” Jawabnya datar.
            Boss mendongak pada Rafael yang sedang berdiri dihadapannya. Refleks Rafael mengerti apa yang dimaksud Boss nya, “Menurut penyelidikian, Setelah pulang dari pemakaman, Ia akan berkunjung ke Istana Negara. Mereka akan berjalan memutar untuk menghindari massa yang ribut karna kematian Zalfa. Tapi, kita tidak tahu mereka akan lewat darimana. Nanda, Sekretarisnya akan memberi laporan sebentar lagi.” Jelasnya.
            “Sejak kapan Nanda menjadi sekretarisnya? Dia itu siapa?” Tanya Gian yang juga anggota kelompok Ridho.
            “Kau mungkin tidak pernah bertemu dengannya.” Jawab Boss. “Dia tangan kananku dan akan menjadi atasanmu. Turuti saja perintahnya nanti.”
            Ridho mengernyit dan menatap sinis, “Dia hanya wanita, tak perlu dihiraukan.”
            “Baiklah. Misi, dimulai!”

            “Walaupun begitu, Polisi sulit menemukan bukti bahwa Ia dibunuh…” gumam Daffa meninggalkan gundukan tanah dihadapannya bersama wanita cantik bernama Nanda.
            “Hm… ternyata begitu…” jawab sekretaris itu menyembunyikan seringainya. “Kita akan ke Istana Negara, melewati jalanan dalam untuk menghindari pers. Kita akan melewati perumahan Weaef.”
            “Lewat mana saja, yang penting kita sampai tujuan.”

            Mereka—Ridho, Gian, Natasha dan Fitri berjalan-jalan disekitar perumahan Weaef, sesuai dengan informasi yang diberikan agen bernama Nanda. Tujuan mereka berjalan-jalan adalah mencari tempat yang akan menjadi tempat mereka beraksi. Titik mati yang sulit diketahui oleh orang-orang. Ada yang bersembunyi di rumah kosong, gudang tempat penyimpanan barang bekas, dan ada juga yang duduk-duduk di warung makan pinggir jalan.
            “Kenapa aku harus sembunyi di gudang?!” keluh Natasha dalam mengenakan maskernya.
            “Hati-hati sidik jari.” Ucap Gian melahap kue nya. Ia beruntung hanya memantau lewat warung makan dipinggir jalan.
            “Hei, aku mau Tanya, kenapa kita harus membunuhnya?” Tanya Fitri mengenakan kacamata hitamnya dan berjalan-jalan didepan gerbang perumahan Weaef.
            “Karna katanya, Ia mempunyai informasi rahasia dari Zalfa. Orang seperti itu harus dimusnahkan.” Jelas Ridho menjepit Sniper di ketiaknya.
           
            “Didepan kau akan bertemu dengan wanita tinggi berkacamata hitam. Setelah bertemu dengannya, dalam waktu sepuluh detik kau harus turun dari mobil. Tempat ini rawan, jadi kau juga harus berhati-hati.”
            Nanda menyeringai setelah mendengar instruksi untuknya.
            “Kau kenapa senyum-senyum? Jadi tambah cantik, eh?” Tanya sang Gubernur.
            Nanda semakin tersenyum, “Aku sedang menghayal indah!” ucapnya dengan nada girang.
            “Kamu seperti anak kecil, ya?” Daffa terkekeh.
            “Indah, bukan?” tanyanya setelah mereka masuk ke perumahan dan melihat sekilas wanita tinggi berkacamata hitam.

            “Lewat. Ganti.” Ucap Fitri.
            “Baiklah, aku akan pasang mata elang.” Ujar Gian setelah menghabiskan makanannya.

            Nanda turun dari mobil dengan alasan Ia melihat sesuatu diluar sana. Ia segera melaporkan segala informasi yang Ia ketahui pada Boss dan agen-agen lainnya. Hal itu terbukti karna Supirnya sempat melihat bahwa Nanda tidak melakukan hal mencurigakan diluar sana seperti menelepon atau memberi isyarat.
            “Kembali pada mobilmu dan selanjutnya…” ucap Boss kemudian terpotong.
            “Siapapun yang berada digudang, bisa menembaknya sebelum aku masuk mobil. Tidak, saat aku membuka pintu mobil.” Ujar Nanda.
            “Bukankah itu lebih mencurigakan?” Tanya Natasha bersiap-siap.
            “Lakukan saja.” Ucap Nanda lalu balik ke mobil sang gubernur. Ia membuka pintu mobil dan… tak ada letusan sedikitpun. Tak ada yang terjadi pada Daffa.
            Kenapa Ia masih ‘berdiri’?! Meleset kah?!” Tanya Gian yang memperhatikan dari arah warung makan. Maksud dari perkataan itu adalah, mengapa Daffa masih sadar. Lawan kata dari ‘jatuh’ yang berarti sasaran telah mati.
            “Natasha? Apa yang terjadi?” Tanya Fitri tenang.
            “Mereka berjalan melewati gang kecil. Kurasa ini giliranmu, Ridho.” Lapor Gian menatap tajam mobil yang berlalu itu.
            “Cih, dasar. Ia memang selalu cerboh.” Desis Ridho. “Serahkan padaku.” Lanjutnya dengan seringai.

            Di lain tempat, Natasha menatap sinis seorang warga yang berdiri ketakutan dibelakangnya. Ia telah ditemukan warga setempat.
            “A-apa yang kau lakukan di gudangku…?” Tanya seorang pria berumur 40tahunan.
            “Oh jadi ini milikmu ya?” Tanya Natasha menghampiri pria itu. “Maaf mengganggu.” Sambungnya sambil tersenyum dan mengeluarkan sebuah Handgun dari dalam sakunya kemudian menjatuhkannya.
            “Maaf aku gagal.” Ucapnya dalam sambungan earphone. “Lagi-lagi aku ketahuan. Apa yang harus kulakukan pada mayat ini?”
            “Kau selalu merepotkan!” omel Ridho menarik pelatuknya dan… “Ayo kita pulang! Kau, sekretaris, urus sisanya.”
            Nanda berteriak histeris setelah menyadari Daffa tiba-tiba jatuh.sesegera mungkin supir segera melarikan Gubernurnya kerumah sakit terdekat. Tragedi itu berakhir.

            Mereka, para agen-agen yang sudah selesai bertugas merayakan keberhasilan mereka dengan makan-makan. Kedua kasus beruntun itu masih diselidiki polisi dan mungkin tidak akan pernah diketahui. Karna, Agen-agen itu menghapus bersih jejak ‘tugas’ mereka.