Monday 16 June 2014

Keep Tawheed, even you walk alone



     
Kuikat erat lilitan kain putih pada lutut kanan. Sambil melirih pelan, aku meluruskan kedua kaki dan meraih selembar tisu yang tergeletak diatas lantai. Kukibas sedikit, lalu mengusapnya ke dahi. Menyeka sisa cairan merah yang membekas di dahi sebab benturan pada sebuah tiang listrik tadi.
Tak ada hentinya istighfar dalam hatiku. Sambil menahan rasa sakitnya, aku menghembuskan nafas berat. Memohon keselamatan pada Illah yang telah memberiku hidup dan berbagai cobaan di dalamnya.  
Aku memasukkan kembali sebuah kotak putih berlambang plus merah kedalam ransel, lalu menutupnya. Segera aku beranjak dari ruang kecil tersebut dan pergi. Meninggalkan tempat peristirahatan sementara sebagai musafir.  
”Semua manusia memiliki orang yang dicintai dan dibenci. Tapi untukmu, jika ada berkumpul lah dengan orang-orang yang bertakwa.” –Imam Syafi’i

Tiga pria bertubuh besar melintas di hadapanku. Salah satu diantaranya melirikku sinis, mengisyaratkan bahwa aku adalah orang berikutnya.
Aku mengangkat bahu dan berbelok di tikungan. Langkahku terhenti ketika pandanganku tertuju pada seorang lelaki tua terkapar di pinggir jalan. Refleks aku beristighfar pelan, dan berlari kecil menghampirinya.
Tubuhnya dipenuhi oleh luka, beserta darah yang mengalir di sudut bibir kirinya. Salah satu matanya bengkak dan pipi kirinya biru. Sebuah karung di belakangnya terkoyak lusuh. Tersisa sekeping koin yang masih digenggam erat olehnya. ”Tolong...”
Aku segera meletakkan ransel, dan mengeluarkan kotak berwarna putih, P3K. “Astagfirullahaladzim... sungguh Allah akan menolongmu. Tunggu sebentar,” kataku pelan. Kukeluarkan semua isi ransel, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyeka.
Berusaha tenang, aku membuka kotak putih tersebut, mengeluarkan sebotol obat merah yang langsung kuletakkan diatas tanah. Tidak menemukan perban, kapas, kain atau tisu, segera kubuka kembali lilitan kain putih pada lututku, dan mengguntingnya. Kubuang bagian kotornya, dan menggunakan sisanya untuk mengelap mulut si pak tua. Usai melafadzkan Basmallah, aku mulai merawatnya. Selalu kusebut nama Rabb pencipta alam di setiap gerakanku.  
‘BUK!’
Aku memekik, refleks memegang punggungku. Seorang pria baru saja menendangku.
Seorang pria bertubuh besar dengan kaus dalam berwarna putih melempar puntung rokoknya kearahku, “Ini manusia busuk yang tadi!”
“Dia mau sok baik pakai nolong pengemis segala, ya?” kata seorang lelaki dengan tubuh kerempeng, sambil sesekali meneguk air dalam wadah botol kaca berwarna hitam. Langkahnya gontai.
Seorang pria berambut lurus panjang se-leher berjongkok, menjambak rambutku—memaksaku untuk menatapnya.
Aku meringis. Jelas sekali bekas luka goresan di wajahnya beserta tindikan di lubang hidungnya. ”Apa yang kalian inginkan?” tanyaku, berusaha melepas diri.
”Langsung saja,” sahut si pria berambut lurus seraya membuang ludah, tepat di wajahku. ”Aku membencimu.”
Ia segera melepas cengkramannya pada rambutku, lalu berdiri. ”Apanya yang damai? Apanya yang mencintai sesama manusia? Omong kosong! Ajaranmu tidak akan diterima, pecundang.” katanya. Kemudian ia menghela nafas, ”Kami sudah lama hidup dalam kebohongan.”
Si lelaki bertubuh kerempeng tertawa. Dengan tangan kurusnya, ia menunjuk pak tua yang terbaring di belakangku. ”Lihat pengemis yang kau coba tolong barusan! Kau pikir dia bahagia? Dia menderita! Kalau Tuhan benar adanya, seharusnya dia bisa minum bir seperti kami!”
”Berarti...” aku langsung menyela. ”Kalau kalian bisa minum bir seperti itu, berarti Tuhan itu ada, kan...?”
’DUAK!’
”Akh!” kali ini aku memekik keras. Tinju yang di berikan si pria besar menghias wajahku dengan darah. Segera kuusap.
”Masih ada yang ingin kau katakan?” tanya pria itu.
Satu hal yang kumengerti adalah, Dakwah bukanlah sesuatu yang mudah.
Aku menghembuskan nafas berat. Sembari menahan rasa sakit, aku membuka mulut, ”Dalam surah Al-Mai’dah, ayat 90 dan 91... Allah berfirman...” berusaha beranjak, aku menatap mereka bertiga.
”Apa-apaan itu?” tanya si kerempeng mendekatkan wajahnya, ”langsung saja!”
”Meminum khamr adalah perbuatan keji dan itu perbuatan syaithon!” seruku, refleks melangkah mundur.
”HAHAHA...!” lelaki itu tertawa keras, ”lihat, bang, apa yang di katakannya barusan. Katanya, kita ini Setan.”
”Khamr itu bir, maksudnya?” tanya si pria berambut lurus seraya mengangkat alis. Ia menghampiriku dan berkata, ”Memangnya kenapa kalau kami setan? Dunia ini busuk, tahu. Malaikat hidup diatas langit. Yang berada dibawah langit adalah setan dan iblis. Itulah kenyataannya.” katanya tenang.
Aku baru saja akan membalas ucapannya ketika sebuah botol kaca melayang tepat ke dahiku, membentur luka yang baru saja kuobati saat di ruang kosong tadi. ”Astagfirullah! Ya Allah, ini sakit...” lirihku langsung.
”Mintalah pada langit untuk menyembuhkanmu!”
”Tunggu,” seru sebuah suara berat. Aku refleks menoleh.
”Sepertinya kalian sedang bersenang-senang,”
”Yang di maksud dengan teguh hati adalah memegang dengan sungguh-sungguh apa yang dibutuhkan olehmu, dan membuang yang selain itu.” –Aktsaam bin Shaifi

Besarnya dua kali lipat dari tubuh orang-orang biasa. Mungkin seukuran atlit petinju. Wajahnya lebih garang dari pada preman-preman pada umumnya. Tapi sepertinya, aura orang itu lebih hangat dari kebanyakan orang di sekitarnya.
”Joe! Akhirnya kau datang!” sahut lelaki kerempeng seraya tertawa girang. ”Ini, orang yang meracuni istrimu dengan perkataannya!”
Pria yang dipanggil Joe itu melangkah ringan, datang kearahku.
Aku menelan ludah. Dalam hati, berkali-kali aku memohon keselamatan kepada Allah SWT. Kulirik pak tua yang masih terkapar di belakangku, sudah tak sadarkan diri.  
Pria tersebut langsung mencengkram kerah baju koko-ku, dan mengangkatku tinggi.
”A-apa—” ucapanku terhenti ketika melihat kedua bola matanya.
Kosong.
Ia langsung menghempaskan tubuhku ke tengah jalan. Aku meringis ketika telapak tangan dan betis kananku menyeret aspal. Rasanya seperti dikikis perlahan. Perih, juga panas.
Berbayang. Mataku berkunang-kunang melihat sekeliling. Tak seorangpun datang untuk menolong kami. Kulihat dua orang wanita di ujung gang, hanya bisa mengintipku dari balik pohon. Sisanya, membuang muka. Menutup mata atas apa yang sedang terjadi.
Aku beristighfar.
Pria itu menghanpiriku lagi. ”Bangun,” katanya.
Aku berusaha untuk bangkit. Namun, tubuhku menolak untuk menuruti keinginan. Seolah menunjukkan padaku bahwa ia juga sudah sampai batasnya.
”Aku tertarik mendengarmu lagi.” ujarnya. ”Dimana rumahmu?”
Aku terhenyak. Segera kudongakkan kepala, melihat wajahnya yang sedang menunduk menatapku. Yang pertama kali kusadari adalah, aku salah. Mata itu... hitam bersinar. Ia tak hampa seperti sebelumnya. ”Ko-kota sebelah...” kataku gugup. ”Aku sedang dalam perjalanan...”
Pria itu berbalik, ”Pastikan kau menghidangkan jamuan untukku dan keluargaku.” ucapnya, lalu melangkah.
Aku tertegun. Ketiga preman itu langsung berlari mengikutinya ketika pria tersebut beranjak dari tempat kejadian ini. Aku menatap punggugnnya yang berlalu. Kemudian mengulas senyum tipis.
Mungkin, aku akan pulang ke rumah...
”Sifat rendah hati yaitu taat dalam mengerjakan kebenaran dan menerima kebenaran itu yang datangnya dari siapapun.” –Fudlail bin Iyadl

Monday 17 March 2014

Lihat aku

Suara decitan sepatu meramaikan isi ruangan. Setiap pemain berlari mengejar dan menjaga salah seorang diantara mereka yang mendribel sebuah bola. Lelaki berambut kuning menerima sebuah passing dari salah satu rekannya. Ia kemudian memposisikan kelima jari lentiknya di badan bola, lalu memasukkannya ke ring.
Aku melirik kearah jarum jam, menunjukkan angka lima. Sudah 25 menit ia tidak muncul disini. Aku segera menghampiri seorang pria tua yang duduk dipinggi lapangan, dan izin untuk keluar sebentar. Aku berlari menyebrangi lapangan outdoor, dan masuk ke gedung sebrang. Dalam hatiku terus menggerutu.
Aku terus menaiki tangga hingga lantai empat, atap gedung sekolah. Kubuka pintunya dan mendongak keatas. Aku segera menaiki sebuah tangga yang menempel di dinding pintu atap, dan menemukannya. Seorang pria berambut biru dongker sedang terlelap dalam damai. Kedua tangannya dijadikan bantal tidur. "Hari ini pun kau bolos latihan lagi!" dengusku kesal.
Ia menghela nafas. Aku tahu pria ini mendengarku. Segera kuposisikan diriku dan duduk di sampingnya, lalu menggerak-gerakkan tubuhnya.
"Apa sih... aku mau tidur..." katanya dengan suara berat.
"Kamu sudah terlambat setengah jam, Aomine-kun! Latihanlah dengan serius!" kataku lebih keras.
Ia menggunakan sebelah tangan untuk menutup mulutnya yang menguap, lalu bicara lagi dengan nada berat. "Tidak ada yang bisa mengalahkan aku, Satsuki. Sana pergi."
Aku mengepal tangan erat. Seraya menelan ludah, aku menggigit bibir bawahku. Apapun yang aku katakan padanya, ia tidak pernah menurut. Ia tidak pernah mau mendengarku.
Kuputuskan untuk beranjak dan pergi meninggalkannya. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya, tapi ia sudah menyaktiku dengan ucapannya barusan. Aneh, padahal aku sering mersasakannya. Padahal dia memang selalu memperlakukanku seperti itu. Tapi kenapa... disini selalu tertekan rasanya.
.
.
.
.
Lihat aku, Aomine-kun…
Kuroko no Basuke
Disclaimer : bukan saya
Romance, Hurt
Rate T
.
.
.
.
Aku terus berlari dan tiba di sebuah gerbang sekolah, SMA SEIRIN. Aku segera masuk kedalam, tak peduli pada satpam yang menyapa. Aku menuju sebuah bangunan yang dijadikan lapangan indoor tersebut. Masuk kedalam, dan berdiri ditepi garis.
"Hei, bukankah itu... Momoi?
"Satsuki Momoi-san? Kenapa dia disini?"
Aku menunduk, menyembunyikan ekspresiku sesaat. Ketika kudengar suara langkah sepatu datang menghampiriku, diiringi suara lembut dari lelaki berambut biru muda, "Ada apa, Momoi-san?"
Aku segera mengangkat wajah, dan menerjangnya. "Tetsu-kun...!" seruku seraya memeluk tubuhnya. Kutumpahkan segala emosiku di dada bidang kecilnya. Aku memangis dalam sunyi pada dekapannya.
"Aomine-kun... Aomine-kun..." lirihku ketika ia bertanya apa kabarku.
Beberapa lelaki di belakangnya, yang juga sedang latihan basket, menanyakan hal yang mainstream padaku. "Bukannya kamu suka sama Kuroko? Lalu apa salahnya kalau Aomine marah padamu?" tanya Kagami, pria berambuit merah mendengus.
Aku mengangkat wajah, dan mengepal erat. "Memang benar! Tapi Aomine-kun berbeda!" seruku keras. Kemudian aku menunduk, mengecilkan volume suara, "Aku tidak ingin dia membenci, ataupun meninggalkanku..." tanpa sadar, aku terisak.
"Kamu membuatnya menangis, Kagami." ujar kapten mereka, Hyuga.
Aku menjadikan kedua tanganku untuk menghalau setiap bening yang keluar dari kelopak mataku. Hanya disinilah aku bisa menumpahkan amarahku. Hanya disinilah aku bisa jujur pada perasaanku.
Sebuah telapak tangan mendarat diatas kepalaku. Seraya mengusap rambutku, lelaki berambut biru itu tersenyum lembut, "Tenang saja, Momoi-san. Aku akan berbuat sesuatu agar kamu bisa baikan dengan Aomine-kun."
Senyumku langsung mengembang. Aku segera memeluk Tetsu-kun lagi.
"Tuh, gitu cara yang benar," ujar salah satu diantara mereka, membuat pria bertubuh jangkung dan berambut merah itu tersipu malu.
Kemudian, Tetsu-kun mengantarku hingga keluar gerbang. Aku melambai padanya, dan berlari menuju stasiun kereta api. Pulang ke Akademi Touou.
-00-
"Kemana saja kamu, Satsuki?" tanya pelatih ketika baru saja kulangkahkan kaki masuk ruangan.
Aku menyengir, "Ahahaha maaf, maaf…" kemudian aku meraih sebuah lembaran kertas hasil pengamatanku sebagai manajer klub basket. Aku menoleh sekeliling. Pria itu masih belum muncul juga. Aku duduk di bangku pinggir lapangan, dan mencermati setiap gerakan pemain. Melanjutkan aktivitas klub seperti biasa.
Udara menghangat. Aku baru sadar, musim dingin akan segera berakhir setengah bulan lagi. Ng? Besok tanggal empat belas februari ya. Dulu, aku selalu memberikan cokelat pada keenam pemain basket kesukaanku. Aomine-kun dan Tetsu-kun diantaranya.
Aku menghela nafas. Melihat kondisi sekarang saja miris, apa yang seharusnya kulakukan, ya...
-00-
Latihan masih berlangsung, mengingat kami akan mengikuti kejuaraan musim dingin tahun ini. Dan lagi, Aomine-kun tidak ikut latihan. Aku tahu dia memang hebat dalam basket, tapi setidaknya ikutlah latihan.
Aku segera menuju tempat langganannya berada.
"Jangan mengaturku. Memangnya kau siapa?" tanyanya malas, masih memejamkan mata.
"Manajermu! Kita harus bisa menyusun strategi sebaik mungkin. Karena itu, Aomine-kun, latihanlah dengan yang lain!" dengusku kesal.
"Haaaah?" ia masih menjawab dengan nada sama, "sana pergi. Jangan pernah tunjukkan muka jelekmu di depanku lagi."
Tiba-tiba dadaku terasa seperti ditekan. Aku tahu. Aku hanya... tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya.
Tanpa sadar, aku membanting sebuah papan lapangan di tanganku kearah wajah tidurnya.
"Apa sih?" tanyanya malas seraya membuka mata.
Aku bergegas dan pergi darinya. Aku tahu bahwa kelopak mataku sudah sembab. Aku tahu semua itu, dan aku berusaha menahannya.
"O-oi, tunggu, Satsuki!" panggilnya lebih keras.
Aku semakin menangis. Kau begitu bodoh, Aomine-kun. Padahal aku hanya mengkhawatirkanmu. Memang apa salahnya dengan semua itu?
Lihat aku, Aomine-kun...
-00-
Hari ini aku izin lagi, mengatakan pada pelatih bahwa aku ingin berjalan-jalan sebentar. Kutelusuri pinggir jalan raya dimana toko-toko berjejeran. Aku tidak melihat apapun selain langkah kaki. Begitu merasa pegal karena lama menunduk, aku mengangkat wajah dan memandang lurus. Kulihat sebuah toko yang diramaikan oleh para gadis.
Aku mengintip lalu masuk ke dalam toko tersebut. Berderet bentuk-bentuk cokelat tersusun rapih diatas rak. Ada yang berwarna putih, ada juga yang berwarna merah jambu. Langsung terbesit di kepalaku, Valentine. Seharusnya hari ini adalah hari yang penuh kasih dan cinta. Tapi tidak bagiku. Aku tidak pernah merasa bahagia dengan apa yang mereka sebut hari kasih sayang itu.
Aku meraih sebuah cokelat batangan berwarna putih. Kutatap baik-baik bentuk persegi panjang kotak-kotaknya. Semenit kemudian, aku membawanya ke kasir. Kuminta salah seorang pegawai disana untuk membungkusnya dengan kertas berwarna biru tua.
Kubawa cokelat tersebut keluar. Untuk apa aku membelinya? Untuk siapa aku akan memberinya? Aku juga tidak berniat untuk memberikannya pada Aomine-kun.
Aku terus melangkah pelan menelusuri jalan. Aku tidak ingin banyak menoleh, sebab yang akan kulihat adalah senyum dan tawa dari setiap pasangan yang lewat. Bagaimana kalau Tetsu-kun? Baik aku akan memberikannya, tapi tidak sekarang. Entah kenapa aku tidak berniat untuk menemuinya. Setidaknya, untuk saat in.
"Bodoh, menyusahkan saja."
Suara berat yang khas terdengar di telingaku. Aku menoleh ke belakang. Sosok pria berkulit gelap berjalan menghampiriku. Nada suaranya masih sama, berat dan malas.
Ia melempar sebuah papan lapangan padaku. "Kau pikir tidak sakit dilempar seperti itu?" katanya, dan berbalik.
Aku menangkap benda milikku itu, lalu memanggilnya, "Tunggu, Aomine-kun!"
Ia menoleh, lalu menghentikan langkahnya, "Apa lagi?"
Tiba-tiba seluruh wajahku merona merah. Aku baru sadar bahwa salah satu tanganku memegang sebuah cokelat batangan, dan Aomine-kun telah melihatnya. Kalau befgitu, langsung saja, "Ini... aku..." pemulaian membuatku gugup.
"Aku tidak punya waktu untuk meladeni tingkahmu itu. Sudah, ya, aku mau tidur lagi."
Tanganku menggapai udara. Aku hanya bisa menatap punggung tegapnya yang berlalu begitu saja. Tanpa sadar, air mataku menetes. Suaraku tidak mau keluar. Kakiku juga enggan untuk mengejarnya. Padahal aku...
Aku mengepal tangan erat, dan membiarkan setiap bulir air mengalir deras di pelupuk mataku. "Lihat aku, Aomine-kun..." lirihku.
Aku terisak, tidak peduli pada setiap pejalan kaki yang heran melihatku. Tangisanku tidak mau reda. Selalu kuucapkan dalam perihku, "Lihat aku, Aomine-kun... aku sedang bicara padamu..." lirihku, berusaha menahan isakan. "Lihat aku..."
Padahal aku... tahu bahwa Aomine-kun tidak akan melirikku. Padahal aku tahu dia akan segera menutup matanya begitu melihatku.
Dunia, katakan padaku, apa aku... salah...?