Wednesday 25 December 2013

Berbagi Rasa




# Special for my bornday #

Warning : Alur Cepat!
.
.
.
.
I’ve only use excuses to pretend I’m not hurting.
-00-
Sudah beberapa hari sejak aku pindah ke sekolah ini, Kurosaki Gakuen. Selama ini yang selalu menarik perhatianku adalah, sesosok gadis ceria yang selalu bergerak layaknya remote control baru di charge penuh. Dia orang yang sangat enerjik. Setiap waktu luang disekolah, ia habiskan waktunya untuk keluar kelas menuju kelas lain.
“Nakayao, bagaimana harimu kemarin? Menyenangkan?” tanya seorang lelaki berambut cokelat tersenyum kearah gadis itu. Ya, nama gadis periang itu adalah Nakayao.
Gadis itu mengangguk keras seraya tersenyum lebar. Seketika tempat duduknya ramai. Aku langsung sadar bahwa Nakayao lah, poros keramaian itu. Sudah lama aku tahu bahwa Nakayao disenangi semua orang.
Bel istirahat berbunyi. Sebagian siswa mengeluarkan bekalnya, dan sebagian yang lain pergi keluar kelas—termasuk Nakayao. Gadis itu bersenandung riang sembari melompat kegirangan keluar kelas. ”Mau ketempat Makoto lagi?” tanya seorang pria berkacamata diambang pintu.
Lagi-lagi gadis itu mengangguk—tak lupa senyuman lebar di wajahnya. Aku menghela nafas dan membuka kotak bekalku. Kusumpit gumpalan nasi beserta omelet buatan ibu, lalu melahapnya tenang. Kunikmati bekal ini dalam sunyi. Ya, semuanya mendadak sepi setelah gadis ceria itu pergi keluar kelas.
Semenit setelah itu, diluar kelas terdengar bising sekali. Aku mengintip dari jendela kaca, mendapati keramaian disudut lorong sana—didekat tangga. Masih ragu, aku letakkan sumpit dan pergi keluar kelas—bergegas menuju keramaian. Aku tak bisa menahan rasa penasaran lebih lama lagi.
Kini yang kulihat adalah sesosok gadis bertubuh ramping terbaring tak berdaya dibawah tangga sana. Itu adalah Nakayao. Apa gadis itu terlalu bahagia sampai tidak memerhatikan kecerobohannya? Manaku tahu. Yang kulihat adalah, kedua temannya langsung mengomeli habis-habisan sembari memapah dirinya. Sedangkan yang menjadi korban hanya terkekeh sambil tersenyum.
Aku menyadari keanehan gadis itu.
-00-
Hari ini aku datang terlalu pagi. Kulepaskan sepatu dan mengenakan uwabaki—lalu menaiki tangga dan menuju kelas 1B. Seperti yang kuduga sebelumnya, sepi. Aku segera menuju bangku didekat jendela dan duduk disana. Aku mengeluarkan sebuah buku bermata pelajaran ’Jepang Modern’ dari dalam tas dan membacanya. Pandanganku teralihkan pada sepasang insan dibawah sana. Aku menaikkan posisi kepala, mencoba mengintip kebawah. Seorang gadis periang dan seorang pria berbalut perban di kepalanya berjalan beriringan.
Itu Nakayao. Gadis itu terlihat tertawa riang sementara pria berkulit cokelat disampingnya terlihat menaggapi—namun ekspresinya datar. Kuperhatikan baik-baik, senyum yang indah. Beda dengan yang kulihat selama ini.
Kemudian aku melanjutkan aktivitasku.
-00-
”Sebentar ya, aku sedang menyelesaikan tugas. Sedikit lagi!”
Mataku mengekori. Seorang pria berkulit cokelat dengan lilitan perban di kepalanya  duduk diatas meja tempat Nakayao berada. Semenjak kedatangan pria itu, tak seorangpun menyapa Nakayao seperti biasanya. Sudah jelas, karna aku juga merasakannya. Keberadaan pria itu, membuat aura disekitarnya menjadi gelap, matahari seolah redup.
”Cepatlah.” ketus pria itu dingin.
Nakayao membalas dengan kekehan ringan sambil meneruskan aktivitasnya. Aku juga menyelesaikan catatanku. Guru Bahasa tadi terlalu cepat menerangkannya, aku jadi harus mengingat dan mencatat lagi apa yang dijelaskannya. Kemudian suasana terasa hening, mataku mengekori mereka lagi.
”Maaf, ya, aku menyusahkanmu lagi...”
Aku tak henti menatapnya. Wajah Nakayao berbeda saat ini. Wajah itu terlihat menyesal. Wajah sendu yang sangat langka sekali ia tunjukkan.
”Kalau kau meminta maaf lagi, kubunuh kau.” jawab pria itu dingin.
Kemudian Nakayo tersenyum, kembali tertawa.
Cukup lama aku memerhatikan gadis polos itu. Kemarin ia jatuh dari tangga, bukan? Tapi tidak ada memar ataupun bekas luka diseluruh tubuhnya. Aku melihat jelas kepalanya berdarah kemarin.
”Tsuyoshi-san? Kau belum pulang?”
Aku tersentak. Mata kami saling bertatapan sekarang. Aku ganti menoleh kearah pria berkulit cokelat yang kini menatap intens mataku. ”Kamu belum pulang?” tanya Nakayo lagi, lembut.
Masih berdebar, aku segera mengangkat buku catatanku, ”I-ini sebentar lagi selesai, haha...” tawaku hambar.
Nakayao balas tersenyum, lalu memasukkan buku-bukunya kedalam tas. ”Duluan, ya!” sahutnya riang. Pria berbalut perban di kepalanya itu mengekor dibelakang Nakayao, pergi keluar kelas.
Aku berhenti menyengir, menarik bibir yang terangkat menjadi datar.
-00-
Sudah beberapa hari setelah aku mendalami peran sebagai stalker. Pria yang selalu bersamanya itu bernama Makoto kelas 3A, yang selama ini digosipi sebagai kekasih Nakayao. Itu hanya gosip, jadi tidak terlalu pengaruh padaku. Terakhir kulihat, Makoto tampak sudah sehat. Kepalanya tak lagi dililit perban.
Detik demi detik, menit demi menit berputar. Nakayao sudah tiba dikelas dan langsung disambut hangat oleh seisi kelas. Ia tertawa sebentar, lalu menggaruk kepalanya. Kemudian ia mengeluarkan sebuah bukunya, menarik bangkunya ke mejaku—duduk dihadapanku.
”Boleh minta bantuan? Aku ingin kamu mengajariku PR Matematika...”
Ia memohon sambil memasang puppy eyes. Dia berhasil merayuku. Baru saja aku menarik buku PR nya, seorang lelaki datang sambil menepuk bahunya keras. ”Tumben tidak minta ajarin Makoto-senpai?”
”Uuuh, sakit tahu!” dengus Nakayo seraya balas memukul pinggul lelaki itu.
”Kemana dia?” tanya lelaki itu akhirnya, setelah lama bercanda.
Nakayao terlihat berpikir. Kemudian ia menjentikkan jarinya, ”Tidak tahu, absen mungkin.”  
Ambigu. Jawabannya terlalu mencurigakan untuk disebut jujur. Mataku mengekor lagi, senyum diwajah itu menghilang sesaat setelah lelaki itu pergi. Kali ini, aku terus perhatikan wajahnya. Namun gadis itu tak balas menoleh padaku. Semua orang seharusnya risih jika dipandangi serupa ini. Tapi dia tidak.
Ekspresinya. Apa ia sedang lari? Lari dari masalahnya. Lari dari tatapanku. Lari dari pertanyaanku. Lari dari semua kemungkinan yang ingin kulontarkan.
Ia mengangkat wajahnya, ”Aku tidak mengerti yang ini,” ujarnya seraya menunjuk nomor tiga. Aku mengangguk dan mencermati soal matematika itu.
”Rumahmu dimana, Tsuyoshi-san?” tanyanya menyengir.
Aku terdiam sejenak, lalu menjawab. ”Didekat persimpangan Shibuya.”
”Hooo...” ia mengangguk pelan. ”Rumahku di Nakano, dekat dengan Shibuya. Hari ini kita pulang bareng, ya!” serunya riang.
Senyuman itu... janggal. Sesaat setelah ia fokus pada PR Matematikanya, aku menangkap sesuatu. Aku tahu bahwa wajah itu palsu.
-00-
Ini hari libur. Yang kulakukan adalah pergi ke perpustakaan kota di Nakano, meminjam buku untuk refrensi. Setelah turun dari stasiun Nakano, aku menapakkan kaki ditempat yang sudah biasa kukunjungi. Pandanganku tak henti melihat orang lalu-lalang, seolah aku adalah kamera yang sedang merekam mereka semua. Memang tidak seramai di Shibuya.
Aku melangkah pelan dan mendapati kerumunan disana. Seorang pria dan berandalan lainnya terlihat sedang memukulkan tongkat besinya ke segala arah. Ada beberapa orang yang terpukul, menciptakan jeritan yang sangat keras. Kudapati sepasang manusia sedang bergandengan tangan disana, itu adalah Nakayao dan Makoto-senpai yang baru saja keluar dari rumah sakit Nakano.
Aku segera bersembunyi dibalik pohon besar dipinggir jalan ini. Aku tidak langsung lari, karna ingin memastikan bahwa Nakayo sudah pergi dari tempat ini,  tempat dimana tawuran massal terjadi. Kericuhan menyebar diseluruh distrik Nakano.
Mataku terus menghujam kedua manusia itu. Sebuah tongkat besi melayang tepat diatas kepala Nakayao, tanpa gadis itu ketahui. ”Nakayao, awas!!!” pekikku refleks keluar dari tempat persembunyian. Namun aneh.
Makoto. Pria itu mendorong tubuh Nakayo pelan, memposisikan tubuh gadis itu kearah lajunya tongkat besi. Aku menganga. Kemudian Nakayao memasang wajah garang dan menarik kerah kemeja Makoto, membalikkan posisi mereka. Dan ’BUUK!!!’
Aku semakin menganga. Sirine mobil polisi terdengar saat itu juga. Para pelaku tawuran perlahan bubar. Orang-orang berpakaian khusus terlihat menangani para korban yang terluka—termasuk Makoto senpai. Tangan pria itu tampak mencengkram udara dan menatap garang kearah Nakayao. ”Sial kau...” lirihnya. ”Sial kau—Nakayao...!”
Kemudian gadis itu menunduk. Aku berlari menghampirinya, ”Apa yang kau lakukan?!” seruku cepat.
Tapi gadis itu tidak mengindahkan perkataanku dan beranjak, terus berjalan memunggungiku. ”Apa yang kau lakukan pada orang yang kau sukai?!” seruku lagi.
Ia menghentikan langkahnya, kemudian melambai sedikit. ”Sayonara, Tsuyoshi-san.”
Sayonara. Terdengar dingin dan sepi.
-00-
Hari ini, pelajaran pertama sengaja dikosongkan untuk dijadikan waktu berkabung. Aku melihat tragedi itu, jadi bisa kutebak untuk siapa acara berkabung ini dilaksanakan.
In memorian : Nakayao Kuroihomura
Aku mengerjap. Apa yang kulihat adalah sebuah keanehan. Kami berkabung untuk Nakayao, untuk gadis itu. Padahal yang kemarin terluka parah adalah Makoto-senpai. Kudengar gosip-gosip di segala penjuru, ada yang mengatakan bahwa Nakayao bunuh diri. Adapula yang mengatakan ironisnya cinta bisa merebut nyawa.
Rasa penasaran yang tinggi membawaku berpijak di rumah sakit Nakano setelah pulang sekolah, hari ini. Usai bertanya pada resepsionis, ia memberitahu kamar Makoto-senpai berada di lantai dua nomor 33. Aku bergegas dan masuk setelah diizinkan oleh perawat yang memberikan jangka waktu untuk menjenguk.
Setelah mengetuk pintu dan diperbolehkan masuk, aku segera mengenalkan diri, ”Aku Tsuyoshi Nakanishi, teman Nakayao-san.”
”Oh,” dengusnya seraya memalingkan wajah.
Aku perhatikan seluk-beluk tubuh pria itu. Tak ada luka sama sekali. ”Luka anda cepat sekali sembuh, ya?” dan pertanyaanku membuat pria itu menoleh, ”kepala. Seharusnya bagian itu tidak bisa sembuh secepat itu, apalagi yang menghantamnya adalah besi.”
Ia terbisu. Kemudian membuka mulutnya, ”...Kau melihatnya?”
Aku mengangguk. Tidak lama setelah itu, Makoto-senpai duduk bersila diatas ranjangnya, membuat selang-selang infus itu terlepas. Ia lalu turun dari sana dan menapakkan kakinya, berdiri kokoh. ”Lihat, aku sama sekali tidak sakit. Kupikir kau mengerti.”
Mataku membelakak. Aku tidak percaya dengan asumsiku, tapi tak kusangka ini serius. Aku menghela nafas berat, ”Kalian... berbagi rasa sakit?” pertanyaan raguku membuatnya mengangkat alis. Aku meneguk ludah, ”Maksudku... jika Nakayao menderita, maka kamulah yang merasakannya... dan sebaliknya...”
Makoto-senpai berbalik dan mendaratkan bokongnya acuh diatas ranjang. Ia bersila tangan, ”Kau benar. Benar sekali,” dengusnya, ”sudah kukatakan padanya, aku tidak peduli ia harus ditabrak truk sekalipun. Tapi dia masih saja keras kepala.”
Pecah semuanya. Benang yang kusut ini, sekarang terurai indah. Alasan kenapa luka Nakayao sembuh dalam sehari adalah, karna luka itu berpindah ke Makoto-senpai. Alasan kenapa Makoto-senpai masuk rumah sakit adalah, karna Nakayao terluka lagi. Alasan kenapa Nakayao mendorong Makoto-senpai saat tragedi tawuran masal itu adalah... karna Nakayao tidak ingin Makoto-senpai meninggal.
”Setelah kematiannya, aku akhirnya terlepas dari kutukan brengsek ini.”
Panas. Mataku panas. Dadaku terasa sesak. ”Maaf...” lirihku. Kini aku merasakan bahwa diriku mulai terisak, ”maafkan aku...”
”Jangan meminta maaf, kau membuatku muak.”
”Maaf...” lirihku lagi. Lengan kemejaku menggesek mataku dengan keras, aku yakin wajahku memerah sangat sekarang. Mau bagaimana lagi. Aku sudah kalah dengan orang ini. Aku kalah dengan orang yang berada di depanku ini.
”Sudah cukup. Untuk apa kau meminta maaf? Tak ada untungnya. Semua sudah berlalu.” ketus Makoto-senpai acuh.
Namun aku belum bisa menyudahinya. Aku masih terus terisak, mengakui fakta bahwa aku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan ini. Padahal aku bisa saja berlari dan menghalangi pukulan itu agar tidak mengenai mereka salah satu diantara mereka. Tapi aku terlalu pengecut untuk itu. Aku tidak cukup berani untuk melakukannya. Yang kulakukan hanyalah sembunyi dan menonton tanpa bertindak. Aku ini memang rendahan.
”Maaf menunjukkanmu sisi yang seharusnya tidak kuperlihatkan...” ujarnya membuat mataku mengekor. Pria itu duduk di ranjangnya sambil menunduk. Salah satu lengan menutupi sepasang matanya.  
Aku tidak tahu bahwa Makoto-senpai sedang menangis dalam bisu.


26 Desember 2013


Friday 15 November 2013

Yuki to Sakura background



Sebelumnya, gua berterimakasih banget sama lo, iya elo, yang udah baca/beli novel Yuki to Sakura.
Keliatannya kayak curhat kali ya? Yaudahlahya, curhat dikit gapapa.
Gua nerima dengan baik kritik, saran, komen, flame, atau apapun semacam itu dengan baik. Bahkan sampe ada yang nge-review, makasih banget loh ya~XD
Disini gua pengen curhat dikit tentang latar belakang novel Yuki to Sakura ini. Bukan cerita tentang tokoh-tokoh didalamnya, melainkan tentang gua yang gak jadi tokoh didalamnya. #yaterus
Oke lanjut.
Pokoknya waktunya itu sebulan untuk nulis 150 halaman. Alasan kenapa gua semangat itu... karna sesuatu. Ya pokoknya sesuatu aja. Gaenak ditulis disini, entar ada yang kegeeran atau semacamnya. Hih!
Nama-nama tokohnya juga gua pinjem dari nama-nama temen gua. Contohnya Kuroihomura, Nakayao, Makoto, Aozuki dan Tsuyoshi Nakanishi. Tsuyoshi itu asli temen gua di Jepang. Iya temen. Sorry i borrow ur name, even i know u never read this sucks thing X’D
Oiya, makasih banget loh ya yang udah suka sama novel romance pertama gua ini. Bener loh, gua itu gasuka romance. Paling gasuka dengan genre romance. Sebisa mungkin, gua pasti menghindari semua yang berbau romens romens itu. Tapi ada satu alasan kenapa gua malah menulis romens, karna itu. Ya itu. Makanya keliatan kan kalo di Yuki to Sakura itu romance nya agak sedikit—err—maksa? XD Maaf ya, karna authornya payah banget. Maaf banget disitu ada beberapa typo dan salah penempatan quotes. Maaaaaffff bangeeettt dah pokoknya! Dan maaf juga kalo mengecewakan ya. Maaf sekali lagi maaf.
Emang bener gua kurang bisa mendeskripsikan dengan detail perasaan sakit hati itu. Seperti tersayat, terkikis atau semacamnya, mungkin? Susah emang bener dah deskripsiin perasaan cewek itu! Yang gua tau, sakithati-nangis-berusahategar-kuat-moveon(ataugagal)-nangislagi dan semacamnya. Udah, disamping itu gua gabisa deskripsiinnya lagi seperti yang ada di novel-novel romens pada umumnya.   
Genre yang gua suka itu comedy, humor, fantasy, action, supernatural, thiller, mistery, crime, angst pokoknya yang berbau  Shounen! Gua gasuka shoujou, makanya di ntu novel kagak ketara kan shoujou nya? Shoujo itu ya itu, genre yang buat cewek itu loh. Biasanya cinta-cintaan.
Dan bagi yang kecewa sama tu novel, karna deskripsi perasaannya kurang, mungkin? Gua mohon maaf banget banget banget. Gua pasti berusaha dan belajar lebih banyak lagi kok tentang perasaan cewek. Maksud gua, tentang deskripsinya. Gua juga ngerasain sakit hati, diphpin, tapi gua selalu lupa gimana rasanya XD #yaterus
Gua gatau kapan, pokoknya tunggu ya karya gua selanjutnya~XD

With love,
Author jadi-jadian.

Sunday 4 August 2013

Langitnya cerah, ya?



“Langitnya cerah, ya?”
Itulah yang pertama kali terngiang di benak Veren, gadis SMP berumur 14 tahun yang sedang menempuh kehidupan baru. Kehidupan barunya ketika ia baru saja pindah sekolah dari sekolah swasta ke sekolah negri berstandar Internasional. Bisa disebut kuno atau kuper, tapi inilah Veren Putri. Si tokoh utama yang kehilangan sandal sebelah kanannya dan bertemu dengan sesosok lelaki Cina—sebangsa dengannya, dengan kacamata super tebal.
Bukan hanya itu, mata si lelaki juga sipit. Culun memang perawakan sang lelaki yang menemukan sebelah sandalnya yang hilang, tapi penampilan culunnya tetap bisa memikat hati Veren. Tidak, tidak, bukan berarti Veren menyukai lelaki yang berjiwa pahlawan—karna menemukan sandalnya itu.
Memang benar saat itu Veren sedang krisis sandal dan jika sebelah sandalnya yang hilang tidak di temukan, maka ia tidak akan bisa pulang kerumah. Berhubung malam sudah larut dan ia bertemu dengan sesosok lelaki aneh yang mengatakan, “Langitnya cerah, ya?”
Seketika Veren terdiam sejenak, memtaung seperti batu menatap sosok lelaki yang datang membawa sebelah sandalnya sambil menengadah ke langit gelap malam itu. Veren tidak tahu apa yang sedang di pikirkan oleh lelaki itu, tapi yang jelas perkataan langit cerah di malam hari merupakan sebuah kesalahan baginya.
Seandainya lelaki itu mengatakan, ‘Bintangnya cerah, ya?’ atau ‘Sinar yang di pancarkan oleh bintang di langit malam begitu cerah, ya?’, itu baru normal. Tapi justru ketidak-normalan inilah yang membuat kutipan kata itu selalu terngiang-ngiang di benaknya.
Sebutlah lelaki itu Siddhi Mulja, cowok culun berkacamata tebal dan berjiwa pahlawan. Dialah pahlawan malam di bawah naungan langit cerah. Astagay, memikirkan itu saja membuat Veren luluh.
“…Veren?”
Siddhi… bagaimana mungkin ia bisa tertarik dengan cowok culun begitu?
“VEREN PUTRI!!!”
Gadis itu mengerjapkan matanya. Baru saja namanya di panggil dengan teriakan kolosal dari seorang ibu-ibu berkepala empat. Maksudnya adalah umurnya empat puluhan, di ketahui namanya adalah Meivita apalah gitu, Veren lupa.
“Kamu siswa baru tapi banyakan bengong! Perhatikan saya mengajar!”
Bukankah seharusnya siswi? Apakah penampilan Veren terlihat seperti lelaki sehingga membuat bu Meivita menyebutnya siswa?
Oke ini tidak penting.
“Kenapa malah bengong?! Cepat lihat bukumu!”
“Aku hanya bingung, bu…” sanggah Veren cepat seraya berdiri—naik ke atas bangkunya, “kenapa siswa? Bukankah seharusnya siswi?”
Sang guru melangkah menuju mejanya dan mengambil sebuah penghapus papan tulis berbentuk persegi panjang itu dan menggenggamnya erat. Lalu ia ayunkan tangannya dan melemparkan benda tersebut tepat ke arah Veren.
DUAK!
BRUK!
***
“Siddhi Mulja? Tidak ada nama seperti itu di sekolah ini…”
Itulah jawaban yang di terima oleh Veren siang ini. Tidak, ia tidak terima jawaban ini. Hingga manakah ia harus mencari keberadaan sang lelaki yang telah meleburkan hatinya seperti besi di panaskan itu hilang? Oh ini tidak bisa di terima. Hanya bertanya-tanya di sekitar sekolah tidak akan mendapatkan apapun.
“Siddhi Mulja? Wah Om gak tau tuh, neng.”
Veren garuk kepala. Baru saja ia bertanya pada cleaning service sekolahnya. Sengaja di panggil cleaning service, biar keren. Berhubung ini adalah sekolah Internasional, tidak afdol jika menyebutnya ‘tukang bersihin sekolah’. Veren paham benar aturan tersebut. Aturan dari sekolah Internasional bernama deceef yang menarik perhatiannya.
Kembali berlari, mengejar mimpinya. Mimpi untuk menemukan kembali sosok bermana Siddhi Mulja.
Tiba-tiba ia menubruk seorang lelaki dan buku-buku yang di pegang lelaki itu berhamburan. Ia segera meminta maaf dan membantu lelaki tersebut memungut buku. Lalu tangan mereka bersentuhan dan mata mereka bertatapan…
Astagay, apa yang sedang di pikirkan Veren?! Seharusnya ia bertanya pada tukang kebun sekarang, bukan mengkhayal cerita seperti di sinetron! Veren memejamkan matanya sambil menggeleng cepat, berusaha menolak khayalan yang semakin berkembang dalam pikirannya.
Bruk!
Kali ini ia benar-benar bertabrakan.
“Akh!” erangnya sambil memijat keningnya yang kebetulan suka di sebut jenong. Ia membuka matanya, menatap apa yang baru saja menyakiti keningnya.
Tembok.
Ia menghela nafas. Inilah perbedaan sinteron dan realita. Di sinetron kau akan bertemu dengan orang yang kau idamkan dengan cepat. Sementara kenyataannya, kau harus merasakan sakit—ditabrak tembok—baru bisa menemukan orang yang kamu cari.
Begitulah pesan moral yang di dapatkan oleh Veren siang hari itu, Author melaporkan. #salah
“Lho? Tadi udah tanya babeh Aldy si tukang bersihin sekolah—eh, maksudnya klining serpais? Babeh Ipan juga gak tau apa-apa neng. Btw, neng anak baru, ya?”
“Ya jadi babeh Ipan juga gatau apa-apa? Yaudahlahya…” keluh Veren dan berbalik, pergi meninggalkan si tukang kebun sekolah.
Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru kebun sekolah, mencari sosok yang bisa ia tanya lagi. Rumput hijau yang sudah di potong rapih? Tidak, rumput tidak punya jawaban. Buah ceri? Lagi puasa, ia tidak bisa memakannya. Bangku taman? Tidak, itu bangku kebun. Tidak bisa di sebut bangku taman selama bangku itu berada di area kebun sekolah, sekalipun modelnya seperti bangku taman.
Veren duduk di atas bangku berwarna cokelat tersebut. Ia mengibas roknya dan menghempaskan bokongnya keras, dan Bruk!
“Astagay!” pekiknya latta, kebiasaan.
Ia segera mengusap bokongnya yang di lapisi rok biru super tebalnya sambil mengerang pelan. Sepertinya perjuangan untuk mencari sosok Siddhi Mulja akan menyulitkannya.
Tidak! Walaupun ia sudah ditimpuk penghapus papan tulis, menabrak dinding serta jatuh dari bangku kebun yang sudah rapuh, ia tetap tidak akan menyerah! Siddhi, aku pasti datang padamu!
“Kamu baik-baik saja?”
Pupil matanya melebar. Dengan slow motion dan penuh dengan harapan serta khayalan-khayalan positif terngiang di benak Veren, gadis itu menoleh ke arah sumber suara di sampignya. Yang pertama kali ia lihat adalah sebuah tangan terjulur ke arahnya. Kulit cokelat diterpa sinar matahari di tengah kebuh sekolah, di bawah kuasa bangku rapuh yang sudah menjatuhkannya, Veren mengangkat wajahnya. Menatap sosok pemilik tangan yang terjulur padanya itu.
“Neng baik-baik aja?”
Kampret!
Sosok bapak-bapak berkulit cokelat itu ternyata si tukang jaga kebun. Hancurlah fantasi Veren. Tak ada lagi yang bisa di lakukannya. Harapannya hancur.
Ingin rasanya ia menangis di bawah derasnya hujan yang turun. Tapi sayang, siang ini langitnya cerah.
Langitnya cerah?
“Langitnya cerah, ya?”
Veren mendongak, menatap sosok babeh Ipan. Tapi si bapak-bapak tukang kebun itu langsung menggeleng cepat, “Bukan, bukan saya!” serunya seperti sedang di todong pistol berpeluru empat.
Veren memalingkan wajah, ganti memandangi sosok lelaki berkulit putih yang datang menghampirinya dan babeh Ipan, si tukang kebun. Semilir angin di tengah kebun, di sisi sang penjaga kebun, rumput yang bergoyang kini menjawabnya, buah ceri di pojokan kebun sana kini sengaja melepas dirinya, bangku rapuh yang baru saja mencelakainya kini terasa tenang sekali, tidak merasa dosa.
Mulut gadis lugu itu menganga lebar, siap menerkam orang yang baru saja datang.
“Langitnya cerah, ya?” si cowok culun berkacamata tebal mengulang kutipan kata favoritnya, sambil melangkah elegan menginjak bunga-bunga di sebrang sana yang sudah jelas di pinggirnya ada tulisan ‘Berani injak? Mati’.

-to be continue-

Kata Author : Sampai kapanpun, langit selalu cerah. Mau gelap atau terang, teteup aja cerah. Ya update nya gak cepet ya, fyi aja sih.  #berasaFF #bodoah #emangpengennulisffnsih #tapigabisabisa #yaudahlahya #banyakanhestek #bodoamat #likelikeme



Thursday 4 April 2013

KAMIS

Situasi saat ini ditulis : Kecapean, kelelahan, semangat, rumah ke rembesan (Gak banjir kok)
[-0-]
            Apa yang ada di benak kalo denger kata “Kamis”? Menderita, melelahkan, menyebalkan dan semacamnya. Ya itulah kenapa gua nge post saat ini. Jujur, selama UTS ini gua bertekad untuk ga nyentuh PC, mungkin karna ini terlalu berkesan sehingga akhirnya begini.
Lanjut.
Begini ceritanya.
Pagi itu, gua buru-buru ke sekolah. Jam setengah 10 tepat, gua berangkat. Setelah nganter adek ke SDnya, cuuusssss gua menuju sekolah tercinta. Untuk menantang UTS Bajep, Mtk, Geo.
Gua beruntung karna belom terlambat. Dengan segenap perjuangan cepat gua belajar lagi tuh bahasa Jepang karna gua sempet amnesia. –skip-
Pas Ujian dimulai, gua bengong.
SOAL MACAM APA INI?!
Banyak yang belom diajarin, waktunya Cuma setengah jam lebih dikit. Gua makin sakit ati sama bahasa Jepang. Terlebih lagi sama pengawasnya.
-skip-
Tengnongtengnong
Gua pulang. Kita pulang. Tiba-tiba ada tragedy apalah itu, si Dhifa tiba-tiba nangis. Dia sakit ati gegara Bapaknya tercinta nyebut apalah itu yang bikin dia nangis. Singkatnya, dia galau gegara Pak Jupri. Kalo diibaratkan, mungkin kayak abis di cerain.
Kita nongkrong dulu untuk mendengar keluh kesah sang korban wanita yang sedang sakit hati. Setengah jam lah, tiba-tiba hujan. Kita ngebut dan neduh didepan alfa mart.
Kita belanja. Kita berempat, gue, Bella, jones, Dhifa patungan dan akhirnya terkumpullah Sepuluh ribu Rupiah. Kita beli chitos 2 dan big cola. Kita makan bareng-bareng.
Selama setengah jam lebih dikit kita nongkrong neduh, kita habiskan untuk lanjut mendengar keluh kesah orang yang galau gegara pak Jupri.
-konflik mengharukan-
“Dhif, entar gua pulang lewat Kemang 3, biar ga kebanjiran.” Kata gua. Ya emang bener, lewat sana itu selain deket sama rumah gua, juga sedikit tidak banjir.
“Yah sal lewat kemang raya aja, temenin gue. Sekalian nyenengin gue sal.” Lirih sang korban, yang tak lain adalah si Adhifa itu.
Gua berubah pikiran.
Untuk nyenengin temen yang galau karna Pak Jupri, apa sih yang engga?
Cuuuzzzz kita lewat kemang raya.
Semua berjalan lancar ketika gua masuk ke jembatan 2 narogong. Banjir.
Gua muter balik dan lewat jalan raya di jembatan 2 itu, banjir juga.
Tapi…..
Gaada jalan lain. Ya, semuanya banjir.
Gua nekat kesana. Pas didepan gedung serbaguna, gua ngerasa aneh.
.
.
.
(Entah gimana suaranya) tiba-tiba motor gua mati.
Mogok.
Mana gua gabawa Henpon lagi.
Samar-samar, gua denger suara anak-anak kecil di belakang, mereka bertiga langsung menawarkan diri dan dorong motor gua.
Ya Allah, makasih :’)
Gua mikir sambil bantu didorong, “Dek, ada bengkel ga deket sini?”
Ada mbak! Dimana ya…”
“Eh bengkel dimana sih?”
“Ga jauh kok mbak. Di sana tuh.”
Gua nengok kearah yang ditunjuk.
Mati aja! Kenapa gua harus muter balik?! Gua juga sadar uang di Tas gua Cuma 7000 rupiaaaaaah.
Gua bertekad, dengan modal motor didorong anak kecil, gua tetp jalan, belok kiri dan terhindar dari banjir. Gua berusaha nyalain motor dan kebetulan didepan gua juga ada cowo SMA korban banjir. Motornya mogok, senasib sama gue.
“Dek, tunggu dulu dek.” Sahut gua pas 3 anak kecil itu pengen pergi. Gua rogoh tas gua. Yak! Gua keluarin selembar Goceng dan nyodorin ke salah satu diantara mereka, “Nih, bagi bertiga ya.”
Mereka langsung kegirangan dan pergi ninggalin gue bersama motor gua yang malang.
Begini lebih baik, kalo gua ke bengkel, selain gua gabawa uang dan kejauhan, tuh tukang bengkel pasti bakal untung besar! Dan pastinya lama bingits nunggunya, mengingat gue belom sholat ashar.
Setelah setengah jam gua berkutat dengan motor gua yang kagak bisa di idupin, sempet bapa-bapa lewat disamping gua sambil bilang, “Udah gabisa nyala lagi tuh.” Ya, gua hargain nasihatnya.
Cowo korban banjir didepan gua bilang, “Nunggu panas mesinnya, baru bisa jalan.”
Gua terima nasihat lo. Dan gua jalankan itu.
Brum brum brum tess… mati lagi mesinnya.
Nyala lagi.
Mati lagi.
Nyala. Gua gas yang kenceng. Mati lagi. Huft.
Lalu nyala lagi. Gua ngerasa kaos kaki gua yang basah itu serasa kering karna panasnya mesin motor.
Gua jalan, berpacu dengan kemacetan didaerah perkampungan itu. Ya, karna kalo jalan raya kebanjiran, harapan kita hanyalah perkampungan.
Gua berusaha nyari jalan yang gak banjir dan akhirnya selamat sampai depan gang.
Depan gang?
Yak. Dalem Gang udah kebanjiran. Masa gua mesti kena mogok lagi dan dorong motor sendirian?
“Neng! Dalem itu! Taro’ sini aja motornya!”
Gue nengok kebelakang, temen bapake yang manggil.
Dia nawarin gua nitip motor disana. Ya Allah, Makasih lagi :’)
Jam lima lebih dikit, gua berjalan kaki ditengah gang yang kebanjiran, menuju rumah gue yang dalemnya juga udah rembes. Gua udah ngebayangin bakalan begini dan akan jadi kerja keras malam ini.
Gue pulang kerumah.
“Kamu baru pulang, Ca?” Tanya kakak gue yang kalo ngomong sama gue pasti ada maunya.
“Iya, abis tadi motornya mogok sih.” Jawab gue bahagia.
Raut wajah kakak gue langsung berubah, “Motor mogok?!”
“Iya, didepan gedung serbaguna.” You know, depan gedung serbaguna kerumah gua itu lumanyun jauh.
“Jangan sembarangan kamu! Di kata gampang apa? Nyervis motor itu butuh uang! Uang dapet darimana lagi? Gaada lagi tuh blablabla…” kaka gue nyerocos aja. “Terus gimana motor nya? Pasti kerendem kan? Knlapotnya kemasukan air kan?”
“Enggak. Air ga masuk ke knalpot nya kok.”
“Gamungkin, pas kamu mogok, itu pasti ke rendem kan?”
“Enggak, air nya ga nyampe knalpot.”
Terus berdebat.
Dan akhirnya. “Terus gimana motornya?”
“Gimana? Ya ada lah. Salsa aja bisa pulang kan?”
“Motor disana!”
“Disana? Motornya juga selamat. Salsa sempet lama manasin motor itu, terus nyari jalan pulang dan sekarang motornya di pak parji.”
“Pak parji?”
“Iya, tadi pas salsa mau masuk gang, dia langsung nawarin nitip motor disana. Terus salsa pulang kesini jalan kaki.”
“Hati-hati kamu itu. Untung motornya gak kenapa-napa.”
Kampret! Jadi yang dicemasin motornya?!
Gua langsung mandi dan sholat ashar, setelah itu nyalain PC, mulailah mengetik ini. Pas sekarang azan maghrib.
Ya, hari yang melelahkan.
Tapi, keberuntungan selalu menyertai~



Friday 15 March 2013

Planning

            “Kau lihat kampanye tadi? Itu sangat mengganggu.”
            “Benar juga. Kelompokmu akan turun dalam kasus ini.”

            Sore itu, Zalfa sudah bersiap-siap untuk menghadiri acaranya bersama Gubernur Daffa di Kotanya. Ia telah mencalonkan dirinya menjadi Gubernur untuk menggantikan Daffa. Mereka berdua bersama para pejabat lain berencana untuk berdiskusi satu sama lain dalam sebuah acara makan malam yang mewah yang diadakan di hotel berbintang lima.

            “Jadi bagaimana, Bos?” Tanya seorang lelaki yang berdiri dihadapan wanita berkostum serba hitam yang duduk diatas sofa empuknya.  
            “Kita akan mulai setelah mereka pulang.” Jawab wanita yang dipanggil ‘Bos’ itu berpangku tangan.
            “Baiklah. Nuka sudah menyelidikinya. Ia akan pulang sekitar jam 9 malam. Di mobilnya, Ia akan duduk ditengah diantara dua bodyguardnya. Izul akan duduk disebelah kanannya dan seorang bodyguard ‘asli’ miliknya akan duduk disebelah kirinya. Dua kursi didepan hanya terisi satu oleh supirnya. Mereka akan melintas pada jalan raya besar disebelah Utara. Mereka akan mengambil jalan memutar.” Jelas lelaki yang bernama Rafael itu panjang lebar.
            Yang dipanggil Boss berdeham, “Bagaimana kalau berjalan diluar rencana?”
            “Kita lihat saja nanti.”
            “Bereskan tempat persiapan.”

            Acara itu berlangsung besar-besaran. Calon Gubernur, Zalfa sangat menikmati suasana disana. Seringkali Ia tertawa.
            “Jadi apa rencanamu?” Tanya Daffa pada akhirnya.
            “Aku akan membersihkan Kota ini dari orang-orang yang mencurigakan. Termasuk aku akan menyelediki warga sipil. Terkadang, diantara mereka ada agen rahasia. Tapi sebenarnya hal ini dirahasiakan.” Ujar Zalfa pelan.
            Daffa mengerutkan dahinya, “Mana ada orang seperti itu. Sejauh ini, aku belum menemukan yang semacam itu.” Jawab Daffa tak kalah pelan.
            “Kau akan tahu setelah aku menjabat dan mengambil alih jabatanmu.” Seringainya.

            “Tetap pada posisi. Ia akan melintas dalam kecepatan normal 60Km/jam. Ganti.” Ujar Boss memberikan perintahnya pada sebuah earphone.
            “Aku sudah di posisi. Ganti.” Jawab Nuka yang sedang duduk di halte pinggir jalan.
            “Cih, bau sekali gedung tua ini. Ganti.” Ucap Nabila sambil menutupi hidungnya. Sniper yang akan Ia gunakan Ia letakkan diatas Jendela tempat Ia akan beraksi.
            “Aku juga sudah di posisi.” Ucap Anggi tenang sambil mengelap badan Snipernya.
            “Aku menunggu. Ganti.” Jawab Adis sambil memejamkan matanya.
            Baiklah, Ia akan muncul semenit lima puluh detik setelah ini.” Ujar Boss menekan earphonenya. Semua yang bertugas semakin siap dalam posisi mereka. Anggi telah menjepit sniper diketiaknya dan mulai mengekeri, begitupula dengan Nabila. Nuka yang memegang teropongnya mulai menggunakannya dan berdiri. Adis yang akan mengelabui calon Gubernur di posisinya.
            “Lewat.” Ujar Nuka menekan sebuah tombol pada layar ponselnya.
            “Aku akan tembak kepalanya!” ucap Nabila girang.
            “Semoga meleset. Jadi, Aku yang akan menmbaknya.” Jawab Anggi tenang.
            “Eeeeeeeeh?! Harusnya aku dong!” Nabila tidak mau kalah.
            Boss berdeham. Semua yang mendengar pada earphone nya seketika menjadi hening. “Adis kau siap?”
            “Oh sudah merah, ya? Baiklah.” Ucap Adis menggendong barang dagangannya menuju lampu merah, tempat Ia akan berjualan untuk mengelabui orang yang akan dibunuh.
            Saat itu juga mobil Zalfa berhenti karna lampu lalu lintas berganti menjadi merah. Semuanya berjalan sesuai dengan perhitungan. “Ada waktu 30 detik untuk memulai. Bersiap-siaplah. Kita akan menyelesaikan dalam detik ke 10.” Ujar Boss memberi perintahnya.
            “Siap~” kata Nabila dengan nada bangga.
            “Kepala Izul menghalangi.” Ujar Nuka pada teropongnya.
            “Mungkin bisa kena dari atas.” jawab Anggi.
            “Memang akan mengenai kepala Izul. Aku sudah mengaturnya. Cepatlah!” tukas Boss lantang. Mereka semua yang mendengar terkejut.
            “Oh, untuk mengorbankan lawan, harus mengorbankan teman juga ya…” seringai Nabila mulai menekan pelatuknya.
            “Kau akan membunuhnya, Boss?” Tanya Anggi menyipitkan matanya.
            Dilain tempat, Adis yang mengetuk kaca jendela Mobil sambil menawarkan makanan dan minuman, “Sayang anak, sayang anak, sayang anak~ dibeli tuan minumnya?” namun tidak dihiraukan. Bodyguard itu sama sekali tidak membiarkan kaca jendela terbuka. Hal ini bukanlah gangguan. Semua berjalan sesuai dengan perhitungan Boss.
            “Detik ke 10.” Ujar Boss.
            “Aku tahu.” Jawab Nabila menarik pelatuknya.
            “Izul, tali sepatumu lepas.”

Suara tembakan dengan peredam suara lepas.
Terjadi keheningan…
Kemudian jatuh…

            “Sudah? Cepat juga.” Ujar Anggi mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan mengelap bekas sidik jarinya disekitar bangunan yang Ia tempati.
            “Hahahaha! Akhirnya selesai!” teriak Nabila girang dan beranjak pergi meninggalkan bangunan tua itu.
            “Belum. Bereskan tempatmu. Besok kita akan bekerja lagi.” Jawab Boss cepat.
            “Eeeeeh? Besok aku akan pergi ke acara ulang tahun temanku!” tukas Nabila cepat.
            “Kalau begitu, aku akan membunuh temanmu besok.” Jawab Nuka dingin.
            Nabila mengeluh, “Kalaupun kau membunuhnya, aku akan tetap pergi untuk belasungkawa atas kematiannya!”
            Adis tertawa. “Itu lebih baik. Acara ulangtahun berlangsung sehari. Sedangkan belasungkawa kematian hanya sejam. Kau akan tetap bekerja setelah itu.”
            “Huh.” Dengus Nabila kesal.

            Mereka semua berkumpul disebuah kantor rahasia, The Deceef, setelah merampungkan tugas mereka. Rencananya, mereka akan membuat planning baru untuk menyelesaikan sang Gubernur yang akan lengser, Daffa Kresnanda.
            Pintu dibuka, “Fuh, tadi itu dekat sekali.” Ucap seorang lelaki yang terlambat.
            “Izul?! Kau masih hidup?” Tanya seorang lelaki yang sudah duduk ditempat rapatnya.
            Izul mengerutkan dahi, “Apa aku akan mati?”
            Saat itu juga, Boss menjelaskan semua yang terjadi pada Ridho, yang bertanya mengapa Izul masih hidup. Semuanya berjalan sesuai rencana. Saat peluru akan menembus dan bersarang dikepala calon gubernur itu, Izul telah diperintahkan untuk menunduk. Tentu saja Ia tahu karna Ia sendiri menggunakan earphone dan mendengar intruksi bahwa tali sepatunya lepas. Izul mengikat tali sepatunya dan saat itu juga peluru diatasnya melayang menuju kepala sang calon Gubernur, majikannya. Setelah itu, Izul mengundurkan diri dari bodyguard mendiang Zalfa dan datang ketempat ini.
            Semua agen yang ada disana tampak antusias dan mengangguk datar. Boss mereka selalu terlihat mengerikan dalam memberikan misi.
            “Dia akan pulang dari pemakaman jam dua siang ini. Ridho, kelompokmu akan turun.” Ucap Boss memberi perintahnya.
            “Beri aku rinciannya.” Jawabnya datar.
            Boss mendongak pada Rafael yang sedang berdiri dihadapannya. Refleks Rafael mengerti apa yang dimaksud Boss nya, “Menurut penyelidikian, Setelah pulang dari pemakaman, Ia akan berkunjung ke Istana Negara. Mereka akan berjalan memutar untuk menghindari massa yang ribut karna kematian Zalfa. Tapi, kita tidak tahu mereka akan lewat darimana. Nanda, Sekretarisnya akan memberi laporan sebentar lagi.” Jelasnya.
            “Sejak kapan Nanda menjadi sekretarisnya? Dia itu siapa?” Tanya Gian yang juga anggota kelompok Ridho.
            “Kau mungkin tidak pernah bertemu dengannya.” Jawab Boss. “Dia tangan kananku dan akan menjadi atasanmu. Turuti saja perintahnya nanti.”
            Ridho mengernyit dan menatap sinis, “Dia hanya wanita, tak perlu dihiraukan.”
            “Baiklah. Misi, dimulai!”

            “Walaupun begitu, Polisi sulit menemukan bukti bahwa Ia dibunuh…” gumam Daffa meninggalkan gundukan tanah dihadapannya bersama wanita cantik bernama Nanda.
            “Hm… ternyata begitu…” jawab sekretaris itu menyembunyikan seringainya. “Kita akan ke Istana Negara, melewati jalanan dalam untuk menghindari pers. Kita akan melewati perumahan Weaef.”
            “Lewat mana saja, yang penting kita sampai tujuan.”

            Mereka—Ridho, Gian, Natasha dan Fitri berjalan-jalan disekitar perumahan Weaef, sesuai dengan informasi yang diberikan agen bernama Nanda. Tujuan mereka berjalan-jalan adalah mencari tempat yang akan menjadi tempat mereka beraksi. Titik mati yang sulit diketahui oleh orang-orang. Ada yang bersembunyi di rumah kosong, gudang tempat penyimpanan barang bekas, dan ada juga yang duduk-duduk di warung makan pinggir jalan.
            “Kenapa aku harus sembunyi di gudang?!” keluh Natasha dalam mengenakan maskernya.
            “Hati-hati sidik jari.” Ucap Gian melahap kue nya. Ia beruntung hanya memantau lewat warung makan dipinggir jalan.
            “Hei, aku mau Tanya, kenapa kita harus membunuhnya?” Tanya Fitri mengenakan kacamata hitamnya dan berjalan-jalan didepan gerbang perumahan Weaef.
            “Karna katanya, Ia mempunyai informasi rahasia dari Zalfa. Orang seperti itu harus dimusnahkan.” Jelas Ridho menjepit Sniper di ketiaknya.
           
            “Didepan kau akan bertemu dengan wanita tinggi berkacamata hitam. Setelah bertemu dengannya, dalam waktu sepuluh detik kau harus turun dari mobil. Tempat ini rawan, jadi kau juga harus berhati-hati.”
            Nanda menyeringai setelah mendengar instruksi untuknya.
            “Kau kenapa senyum-senyum? Jadi tambah cantik, eh?” Tanya sang Gubernur.
            Nanda semakin tersenyum, “Aku sedang menghayal indah!” ucapnya dengan nada girang.
            “Kamu seperti anak kecil, ya?” Daffa terkekeh.
            “Indah, bukan?” tanyanya setelah mereka masuk ke perumahan dan melihat sekilas wanita tinggi berkacamata hitam.

            “Lewat. Ganti.” Ucap Fitri.
            “Baiklah, aku akan pasang mata elang.” Ujar Gian setelah menghabiskan makanannya.

            Nanda turun dari mobil dengan alasan Ia melihat sesuatu diluar sana. Ia segera melaporkan segala informasi yang Ia ketahui pada Boss dan agen-agen lainnya. Hal itu terbukti karna Supirnya sempat melihat bahwa Nanda tidak melakukan hal mencurigakan diluar sana seperti menelepon atau memberi isyarat.
            “Kembali pada mobilmu dan selanjutnya…” ucap Boss kemudian terpotong.
            “Siapapun yang berada digudang, bisa menembaknya sebelum aku masuk mobil. Tidak, saat aku membuka pintu mobil.” Ujar Nanda.
            “Bukankah itu lebih mencurigakan?” Tanya Natasha bersiap-siap.
            “Lakukan saja.” Ucap Nanda lalu balik ke mobil sang gubernur. Ia membuka pintu mobil dan… tak ada letusan sedikitpun. Tak ada yang terjadi pada Daffa.
            Kenapa Ia masih ‘berdiri’?! Meleset kah?!” Tanya Gian yang memperhatikan dari arah warung makan. Maksud dari perkataan itu adalah, mengapa Daffa masih sadar. Lawan kata dari ‘jatuh’ yang berarti sasaran telah mati.
            “Natasha? Apa yang terjadi?” Tanya Fitri tenang.
            “Mereka berjalan melewati gang kecil. Kurasa ini giliranmu, Ridho.” Lapor Gian menatap tajam mobil yang berlalu itu.
            “Cih, dasar. Ia memang selalu cerboh.” Desis Ridho. “Serahkan padaku.” Lanjutnya dengan seringai.

            Di lain tempat, Natasha menatap sinis seorang warga yang berdiri ketakutan dibelakangnya. Ia telah ditemukan warga setempat.
            “A-apa yang kau lakukan di gudangku…?” Tanya seorang pria berumur 40tahunan.
            “Oh jadi ini milikmu ya?” Tanya Natasha menghampiri pria itu. “Maaf mengganggu.” Sambungnya sambil tersenyum dan mengeluarkan sebuah Handgun dari dalam sakunya kemudian menjatuhkannya.
            “Maaf aku gagal.” Ucapnya dalam sambungan earphone. “Lagi-lagi aku ketahuan. Apa yang harus kulakukan pada mayat ini?”
            “Kau selalu merepotkan!” omel Ridho menarik pelatuknya dan… “Ayo kita pulang! Kau, sekretaris, urus sisanya.”
            Nanda berteriak histeris setelah menyadari Daffa tiba-tiba jatuh.sesegera mungkin supir segera melarikan Gubernurnya kerumah sakit terdekat. Tragedi itu berakhir.

            Mereka, para agen-agen yang sudah selesai bertugas merayakan keberhasilan mereka dengan makan-makan. Kedua kasus beruntun itu masih diselidiki polisi dan mungkin tidak akan pernah diketahui. Karna, Agen-agen itu menghapus bersih jejak ‘tugas’ mereka.

Monday 18 February 2013

-----



Gadis kecil itu melangkah pelan, menikmati angin musim semi. Sekilas Ia melihat seorang wanita sedang duduk diatas bangku dibawah pohon sakura. Tanpa berpikir panjang, Ia menghampiri wanita itu.
Ia bisa melihat bahwa wanita itu sedang menangis. Ia melangkah mendekatinya, “Hei kak, apa itu kenyataan hidup?”
Wanita itu mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk—memperlihatkan wajahnya yang pucat dan matanya yang sembab. Ia tersenyum kecil, “Dik, sebaiknya kau tidak tahu apa itu arti dari kenyataan hidup. Karna sangat menyakitkan.”
Ia tertegun. Lalu Ia tersenyum, “Hidup itu indah. Jika kita terus melangkah dan menikmatinya, terasa sangat menyenangkan.”