Sunday 14 October 2012

Part 3



        
         “Menyedihkan. Dia terlalu berlebihan. Aku sama sekali tak ingin dikasihani.” Ujar Tave berpangku tangan. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa Apartmen Nabila.
“Jangan begitu. Dia orang baik lho…” Nabila membela Mei. “Lagipula, ini salah Daffa. Kenapa ia mencampakkan Mei. Apa kamu tidak memikirkan perasannya?”
Tave menghela nafas. “Aku tidak peduli apapun masalahnya. Aku mau pulang. Cerita ini seperti sinetron.” Tave bangkit dan segera keluar dari kamar Nabila. Nabila hanya menatap sayu langkah Tave yang perlahan menjauhinya.

Koridor itu terlihat ramai. Banyak orang-orang yang mondar-mandir disana-sini dan sibuk dala keperluannya masing-masing. Tave mengeluarkan handphone nya. Ia menekan tombol hijau di handphone nya dan mengangkat teleponnya. “Aku segera kesana.”

 “Dipukul oleh teman satu kosan denganmu? Bodoh sekali. Kenapa tak membalasnya?” Tanya seorang lelaki yang duduk berhadapan dengan Daffa.
Daffa hanya memejamkan matanya. Otaknya masih sulit mengatakan hal yang ingin Ia katakan. “Aku tidak tahu. Ia temanku, mana mungkin aku mau bertengkar dengannya. Dan kau juga tak akan mlakukannya kan, Rul?”
Lelaki itu, Irul Rid malah menatap sinis Daffa. “Tentu saja aku akan membalasnya. Dia harus merasakan apa yang sudah Ia lakukan padaku.”
“Sudah sudah…” seorang wanita cantik meletakkan dua buah gelas diatas meja. “Yang berlalu biarkanlah berlalu.”
“Terimakasih, Adis.” Ucap Daffa meneguk air yang disediakan oleh wanita itu.
“Sama-sama.” Adis tersenyum. Ia menoleh keluar, “Sepertinya kita kedatangan tamu.”

“Ada apa sih? Hari libur begini menyuruhku datang? Mengganggu saja.” Tave melangkahkan kaki nya dan masuk kedalam rumah tersebut. Ia menguap lalu duduk disamping Daffa. Ia menatap wajah Daffa yang membengkak. “Kalau kau punya pacar, kenapa kau tak minta pacarmu untuk mengobatimu?”
Daffa melirik sekilas pada Tave, “Apa boleh buat, Ia juga shock.”
Tidak perlu bicara panjang lebar, Tave sudah tahu masalahnya. Ia memang tipe orang yang tidak terlalu peduli terhadap sekitar, semua orang memiliki masalahnya, tak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Begitulah pikirnya.

Losmen yang mereka tempati tidaklah besar. Hanya cukup untuk tempat tinggal mereka. Irul adalah pemilik Losmen tersebut. Ia adalah sosok yang mengerikan dan tidak berperasaan.

Tave bangkit dan melangkah pergi menjauhi Irul dan Daffa. Ia memejamkan matanya dan akan menuju kamarnya.
“Hei, kalau kau memang keponakanku, bantulah aku.” Ujar Daffa menghentikan langkah Tave. Tave hanya memejamkan matanya dan kembali berjalan, “Suruh saja Nissa, adikmu.”        


Abang Mayutata mendengus kesal. Tak ada seorangpun yang berada dirumah Ivan. Padahal, Ia sudah membawakan makanan untuk mereka berdua, Ivan dan Mei. Didalam rumah tersebut, hanya terdengar suara musik klasik yang diputar oleh radio tua. Namun, suara nya tetaplah menenangkan hati.
Mayutata melangkah menuju ruang makan dan meletakkan makanan yang Ia bawa  diatas meja makan. Padahal Ia berencana untuk membuat Sunday surprise dihari libur yang menyenangkan baginya.
Terdengar suara pintu dibuka. Mayutata segera menoleh dan menuju pintu tersebut. Ia sudah mengira bahwa Ivan dan Mei lah yang memebuka pintu tersebut.
Tapi, Ia salah menduga.

“Sejujurnya, saya tidak suka teman saya diperlakukan kasar seperti itu.” Ujar seorang lelaki yang berdiri di ambang pintu. “Dimana Mei? Kau pasti mengetahui nya.”
Mayutata hanya diam mematung. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan lelaki itu. Kembali Ia mengerjapkan matanya, “Apa?”
“Kau terlalu berlebihan padanya,” lelaki itu menengok kearah sumber suara, “Dia tidak berdosa sama sekali. Tinggalkan saja.” Ujar Tave dengan berpangku tangan.
“Kau tahu dimana Mei?” Tanya lelaki itu kembali.
Mayutata hanya menggeleng-geleng. Ia merasa berpikir lambat.
Tanpa ada kata salam pamit, Lelaki itu dan Tave meninggalkan rumah tersebut. Mereka masuk kedalam mobil dan duduk dibangku belakang.
“Nihil.” Simpul Tave.

“Kukatakan sekali lagi ya bahwa kalian ini berlebihan! Daffa, kau juga, tidak perlu berbalas dendam pada teman sekosan-mu. Lupakan saja masalah itu.” Omel sang sopir cerewet. Ia adalah Nuka yang terkenal dengan kemahirannya mengemudi mobil.
“Aku setuju.” Ujar Tave. “Dan kau Jean, kenapa tidak segera kau tinggalkan saja manusia lambat yang menyambutmu di pintu tadi?”
“Kau selalu meremehkan orang. Bisa saja dia memberikan informasi yang kita sendiri tidak pernah tahu?”
“Dan itu tidak akan terjadi”

Ivan menendang bola nya dengan keras. Ia merasa sangat tertekan dengan kondisi kakak sepupunya saat ini. Tentu saja ini adalah sebuah masalah besar. Ia merasa, Ia harus segera berbicara pada Daffa. Lalu Ia mengeluarkan handphone nya,
“Halo, Daffa-senpai. Bisa bertemu denganku sebentar?”

Lapangan itu terlihat sangat ramai. Banyak orang yang tertawa disekitar lapangan itu. Ivan menoleh sana-sini mencari sosok Daffa. Tak lama kemudian, Ia temukan sosok itu dan menghampirinya.
“Astaga Daffa-senpai, apa yang terjadi dengan wajahmu?” Ivan shock melihatnya.
Daffa hanya menatap junior nya yang sangat dekat dengannya, “Tidak apa-apa. Ada apa memanggilku?”
Ivan mulai salah tingkah. Ia takut apakah perkataan ini akan membuat Daffa membenci nya. Ia tak perlu berpikir lagi, Ia segera mengutarakan maksud dan tujuan Ia memanggil Daffa kemari. “Ini tentang kak Mei…”
Mata Daffa terbelakak. Ia menatap lurus keramaian seseorang. Rizy dan Mei yang sedang berjalan melewati Lapangan.

2 comments: