Udah lama gak ngeblog, dan lagi feels
juga, saya mau buat opini (cuap cuap aja sih) yang selama ini selalu nyangkut
di hati.
Tentang problematika kehidupan yang selalu
turut serta menghadiri aktivitas kita.
Pernah nggak sih ngerasa, “Apaan sih gue
salah mulu, kapan benernya.” Terus abis itu suara batin bicara, “Gapapa, ini
bisa jadi pelajaran. Sesuatu ini ada hikmahnya.”
Terus kalo begitu terus, kapan benernya ini idup???
.
Kemudian sisi lain
saya bicara.
Pernah pada suatu hari
saya terinspirasi dengan seseorang, sebut saja A. Saya merasa A ini sangat
hebat dalam bidang yang saya sukai. Sehingga terpikir di benak saya, saya mau
jadi seperti dia. Dalam ilmu sosiologi, istilah ini disebut ’Identifikasi’ yang
artinya: suatu kecendrungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi
sama dengan pihak lain (meniru secara keseluruhan).
Dalam kasus ini,
apakah A berhak membenci saya karena saya sudah menirunya?
Jawaban saya mutlak, tidak.
Karena A ini sudah menginspirasi orang
banyak (termasuk saya) sampai-sampai membuat orang lain ingin jadi seperti dia.
Seandainya dia dan wawasannya tidak muncul di publik, maka dia boleh marah—tapi
ini beda lagi kasusnya, bisa jadi disebut plagiarisme.
Sejatinya kita selalu
belajar.
Setelah saya meniru
cara A dalam menuangkan ide dan tulisan, sesuatu mengalir dalam diri saya.
Spirit baru yang mengatakan bahwa saya harus lebih hebat dari A. Ini alamiah,
saya rasa mayoritas orang pasti merasakannya. Saat itu saya ada di tahap di
mana saya harus lebih baik dan lebih baik lagi. Saya belajar dari banyak hal
untuk melebihi si A ini.
Hingga akhirnya saya
mencampurkan cara A dengan cara saya sendiri (sebut saja B). Dari situ saya
mendapatkan suatu hal baru, C.
Saya terus latihan,
mencoba, mengulang-ngulang, dan saya meyakini satu hal. Saya mendapatkan jati
diri saya, yaitu C. Saya berpendapat, inilah gaya saya, ciri khas saya, C.
Untuk beberapa saat
saya merasa nyaman dengan gaya saya sendiri. C ini adalah saya. Tanpa campur
tangan dan meniru si A. Saya merasa sudah banyak belajar sehingga mencapai jati
diri saya sendiri.
Lalu tiba saat saya
bertemu dengan hal baru lagi. Seperti yang sudah saya ungkit sebelumnya, kita
selalu belajar. Segala sesuatu hadir, tanpa kita sadari, kita mempelajarinya.
Saya bertemu dengan D
dan merasa sangat terpukau. D ini sungguh menginspirasi, layaknya A yang mampu
merubah sudut pandang saya terhadap suatu bidang. Lalu kejadiannya sama seperti
A sebelumnya, saya mengidentifikasi dan mempelajari hal baru.
Dalam proses belajar
tentunya akan ada masalah dan perasaan tidak enak hati yang berasal dari
lingkungan. Perasaan resah dan gelisah berawal dari faktor eksternal. Inilah
belajar. Bagaimana cara kita memandang, menerima, merasakan, dan yang lebih
penting lagi, memaafkan—baik itu diri sendiri mau pun orang lain.
Akan ada pihak luar
yang protes, tidak suka, serta menghujat. Pihak luar ini akan berkata banyak
hal mengenai kesamaan kita dengan orang lain.
Lalu pertanyaannya
sama, apakah D berhak marah kepada saya?
Tidak. Sama sekali
tidak.
Meniru itu hal
lumrah. Dan orang yang sudah menerbitkan ide dan gagasannya ke publik berhak
menerima segala konsekuensi. Disukai, dibenci, dihujat, dan segalanya. Namun
kalau kasusnya plagiat, itu lain cerita.
Kita semua adalah public figure. Apa pun yang kita
lakukan, kita katakan, kita rasakan, semuanya bisa jadi bahan pembicaraan orang
lain. Media publik sungguh keras, dan kita belajar dari semua itu untuk menahan
diri dan memendam segalanya. Ada baiknya punya teman dipercaya, agar hidup jadi
lebih bermakna.
Kembali ke D.
Sebutlah saya
menggabungkan ciri khas saya dengan D, terbentuklah E. Dalam hal ini, saya
dalam proses belajar.
Lagi-lagi belajar.
Lalu, kapan kita
menjadi diri sendiri?
Jika setiap hari kita
menemukan hal baru dan belajar lagi dari sana, kapan kita akan menemukan jati
diri?
Dari situ saya
mendapat ilham.
Sejatinya hidup ini
adalah pelajaran. Barang siapa terus menengok ke belakang, mendengarkan
semua perkataan dunia, maka hidupnya dipastikan sempit.
Di setiap proses
pembelajaran, kita akan selalu menemukan orang yang berkebalikan, bertolak
belakang. Penjilat, pengkritik, pemberi saran, juga pendukung bayangan. Yang
perlu kita lakukan hanya melangkah, bergerak maju tanpa menoleh ke belakang.
Jika suatu perkataan itu baik maka dengarlah. Dan jika buruk, maka tolaklah.
Ini cara terbaik agar kita selalu bahagia, menikmati hidup, dan menyukai
hal-hal yang sedang kita pelajari.
Kendatinya hidup
adalah pelajaran. Setiap hari kita menemukan hal baru. Jika kita suka, kita
akan mematrinya dalam hati dan berniat mempelajarinya. Lalu keesokan harinya
kita menjadi pribadi yang baru, yang lebih bermanfaat. Banyak hal yang baik,
tergantung dari sudut mana kita memandang.
Lalu yang lebih
penting lagi, banyaklah bersyukur. Dengan bersyukur dan sabar hidup jadi
bahagia.
Dan apakah dengan
adanya hal-hal dan inovasi baru yang selalu eksis dalam kehidupan, kita jadi
tidak bisa menentukan jati diri (sebab kita selalu belajar)?
Jawaban saya, proses
belajar adalah jati diri itu sendiri. Perubahan adalah gaya hidup itu sendiri.
Ketika belajar kita akan memperoleh kebijaksanaan, kebahagiaan, keresahan,
kesulitan, ketidakpedulian, kesenangan, dan itulah yang menjadikan kita
sekarang.
Maka saya meyakini,
setiap saat kita belajar, dan itulah jati diri kita sendiri.
Salsabila, 30 Maret
2016
22:15