Saturday 3 January 2015

Curug Panjang, sebuah Kisah dan Perjalanan

           
            Apa kau pernah mendengar sebuah ungkapan, "Rasa solidaritas yang tinggi bisa didapat ketika kalian bersama dalam sebuah perjalanan"?
            Lalu, apa kau memercayainya?
            Mungkin memang benar tidak semua kebersamaan kamu dapatkan saat itu juga. Atau mungkin, kamu kurang membuka diri, atau merasa tidak membutuhkan orang lain.
            Tapi bagi sebagian orang yang menjunjung tinggi hangatnya kebersamaan, mereka akan bertindak berani dan gegabah—yang kemudian membuat sekitarnya menoleh dan membantu, atau pun menghiburnya.
            Baiklah, sekali lagi. Apa kau pernah merasakannya?
            Ini adalah sebuah cerita pada tanggal 26 bulan Desember di tahun 2014. Menurut sudut pandang author.

_-#RISAMSI19-_

            Di depan sekolah pukul 7 tepat, berikut adalah janjinya. Pukul tujuh lewat lima menit, aku bisa melihat empat orang lelaki sedang bercengkrama, di dekat mereka terparkir tak beraturan empat buah motor. Satu diantara lelaki itu duduk di salah satu bangku kayu tempat pedagang mengemper.
            "Lho, kok, helmnya dua?"
            Aku menyengir sekilas, teringat keluhan salah seorang teman sebelum kami berangkat. "Y-ya ini, temen Salsa mau pinjem helm nanti." kataku seraya meraih telapak tangan besar pria berdarah Palembang ini. Begitu kuat, kasar—namun ketika menggenggamnya, akan terasa kelembutan dan kehangatannya. Orang biasa memanggilnya Ayah, Bapak, dan aku memanggilnya Abi.
            Aku segera pamit dan bergegas pergi, tak ingin lagi ditanya macam-macam. Kuhampiri para pemuda yang kukenali—kemudian mataku teralih pada seorang gadis dengan setelan hijau toska duduk di salah satu deretan bangku kayu. Matanya terfokus pada sebuah gadget yang bersemayam di telapaknya. Aku menepuknya. "Sidney, udah lama?"
            "Hah, enggak kok," jawabnya, kemudian ekspresinya berubah, pupil matanya melebar, "yah, aku lupa bawa helm..." ekspresinya panik—meski terlihatnya datar.
            Aku terdiam sejenak. Dengan ekspresi yang sama, aku merespon, "Lah, kok gak bawa, dah?"
            Kami meminjam salah satu motor ikhwan untuk mengambil helm dirumah Sidney. Letaknya tidak jauh. Setidaknya, tidak sampai satu kilometer.
            Sidney menjadi drivernya, sementra aku duduk dibelakang. Acle meminta agar kami sekalian mampir ke pom bensin untuk memberi asupan pada motor maticnya. Ya, lelaki itu lah yang pertama kali merespon saat aku menyahut untuk meminjam motor. Walau dengan syarat, tapi tak apalah.
            Seorang lelaki menyelutuk, "Nanti kita masak aja lah disana,"
            Aku membatin. Pasti mayoritas diantara mereka tidak membawa bekal.
            "Kompornya bawa emang?"
            "Eh, bilangin Intan suruh bawa kompor."
            "Sa, beli indo*mie sekalian,"
            Singkat kata, persiapan kami belum mencapai angka tujuh puluh persen. Tentang setiap motor yang belum terisi bensinnya bahkan setelah kami berkumpul, tentang kepastian pembawaan kompor dan pengambilan gas kecil dirumah Adit, salah satu ikhwan bertubuh kurus. Juga tentang jas hujan yang tertinggal di bagasi motor—setelah motor tersebut sudah membisu manis didalam rumah yang cukup jauh jika berjalan kaki. Atau tentang pelayan warung yang salah memasukkan mie rebus menjadi mie goreng—alhasil kami harus kembali untuk menukarnya.
            Aku melirik kearah pergelangan tangan, berniat untuk melihat jam—dan sadar bahwa aku tak mengenakan arloji. Gusar, "Ini Intan mana sih dia kagak nyampe-nyampe?!" tak peduli Sidney akan menggubris atau tidak, aku terus mengeluh. "Saskia juga," lanjutku mendengus.
            Menurut informasi yang kuterima dari salah seorang teman yang akan meminjam helm, Saskia, dia sedang menunggu jemputannya—Azat datang. Lagi-lagi aku menggerutu dalam hati. Apa yang dilakukan ketua RISAMSI itu, dan apa yang terjadi disana.
            Pukul delapan kurang lima menit, sebuah motor dominasi warna hitam dengan garis merah di bodynya mulai terlihat dari kejauhan. Helm bernuansa terang dan Jas abu-abu yang menjadi ciri khasnya, Azat, datang dengan seorang gadis di jok belakangnya, Intan. Aku mengerutkan dahi, ini tidak sesuai informasi.
            Usai bercengkrama sebentar, Intan menghampiriku dan Sidney, kemudian mengeluhkan banyak hal. Tidak lama setelah itu, sebuah motor berwarna putih menepi, Ferdi dan Saskia.
            Usai mengatur persiapan seperti; di motor mana tas kompor akan digantungkan, jas hujan ada di motor siapa saja, atau siapa yang menggendong dua tas, dan lain sebagainya, barulah kami memutuskan untuk melaju.
            Deruman mesin motor melaju mengiris jalan arteri, berbelok kearah komsen, kemudian mengikuti jalan. Ferdi menjadi pemandunya saat itu.
            Kami menghabiskan waktu di motor dengan mengobrol satu sama lain. Misal aku dan Acle yang keasikan membincangkan Stand by Me Doraemon—film yang sedang hits, atau movie terakhir Naruto 'The Last' yang tidak jadi tayang di bioskop Indonesia karena Jepang cukup marah  atas kasus pembajakan film Stand by Me oleh Indonesia. Atau tentang Live Action Attack on Titan yang sama tidak jadi tayang di Indonesia atas kasus yang baru saja terjadi itu. Dan juga tentang mimpi burukku yang melihat kawanan Gigantosaurus dan T-Rex memburu seekor beruang.
            Pembicaraan abstrak itu terpotong oleh sahutan Ferdi. "Eh, liat deh, ban belakang kempes, gak?"
            Saskia berusaha untuk melihat kebawahnya. Mungkin ia ragu untuk mengatakannya, sehingga Acle langsung menyahut. "Iya, kempes. Eh, bocor itu Fer. BOCOR!!!"
            Aku mengangkat alis. Oh, ayolah, kita bahkan belum separuh perjalanan.

_-#RISAMSI19-_

            Kami yang ditumpangi—aku, Saskia, Intan, Sidney, dan Dhani memutuskan untuk ikut berjalan kaki menuju bengkel motor. Yang mengendarai motor bertugas untuk mencari bengkel, kemudian kembali untuk menyampaikan informasi. Satu bengkel tidak menerima, kami lanjut ke bengkel yang lain.
            "Jadi ini Curugnya? Kita udah nyampe di Curug nih?" celutuk Saskia disertai tawa panjang.
            Kami berkumpul kembali di depan sebuah bengkel di pinggir jalan raya menuju Kranggan—entah apa namanya. Kami asik menertawakan kesialan, nasib, jalannya, atau takdir yang sedang kami hadapi sekarang.
            "Gara-gara Saskia ini. Lo bilang ke orang tua lo kita naik mobil, kan?"
            "Ih gua kalo bilang naik motor, gua gabakal di bolehin...!" ia membela diri.
            Adit menatap jalanan. Ia tidak ikut bersenda gurau kala itu, hingga seseorang menyelutuk, "Wah Adit juga Adit! Lo bilang ke bapak lo ke Taman Mini, kan?"
            "Mampus lo, Dit, abis ini elu yang kena."
            Yang dibully kali ini tertawa kecil. "Ah, kagak ah,"
            "Ini... Ferdi lagi dah yang kena..."
            "Waktu kita survey juga, yang ban motornya bocor, Ferdi, kan?"
            "Lah yang waktu ke puncak, Ferdi ditilang bayar tiga ratus ribu, hahaha..."
            Dhani menyahut, "Mending gua tiga ratus ribu buat ke Bandung dah naik Bis dari pada ke puncak naik motor tiga ratus ribu, hahaha...!"
            Kami semua melirik kearah Ferdi yang tak juga bicara. Wajahnya menyiratkan penyesalan. Mungkin dalam hatinya ia gelisah. Menyadari itu, kami menutup mulut—tak lagi mengungkit masa lalu Ferdi yang cukup kelam itu.
            "Enggak, gue gak percaya sama kesialan dan keberuntungan," sahut Dhani tegas.
            "Ini bukan takdir, ini nasib." Acle tak kalah tegas.
            Butuh waktu sembilan menit hingga petugas bengkel menyelesaikan tugasnya. Untuk pertama kalinya bagi kami, ada tukang tambal ban yang bisa kerja secepat itu. Biasanya akan memakan waktu setengah jam.
            Dan perjalanan baru saja akan dimulai.

_-#RISAMSI19-_

            Rutenya seperti ini; Jati Asih-Kranggan-Cibubur-Depok-Bogor-Puncak. Kami berangkat pukul delapan pagi—ditambah waktu ban bocor dan sedikit menyasar—waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas.
            Motor melaju melintasi jalan lurus yang panjang. Sangat panjang. Dikenal dengan Jalan Tajur. Jika kau bukan orang kuat, kau akan mengantuk ketika menyusurinya. Kalau saja tak ada bahan untuk mengobrol, tanpa sadar matamu akan terpejam.
            "Sa, lo tidur?"
            Aku berusaha mencerna pertanyaan sang pengemudi. "Hah? Kagalah," sahutku ringan. Mana mungkin aku tertidur sementara lelaki di depanku menahan kantuknya agar kami tidak mendapat masalah.
            "Ngantuk nih,"
            Terbesit juga dibenakku untuk bertukar tempat. Tak masalah bagiku untuk menyetir motor, asal bergantian. Aku juga tak keberatan meski harus membonceng laki-laki—asal orang yang dibonceng tahu diri.
            Ragu memang, tapi aku memberanikan diri. "Sebenernya gak apa-apa sih, gua bawa motor, Cle. Maksud gua, ya gak apa-apa. Lo bisa istirahat sebentar—tapi nanti lo bawa lagi, ya... gimana, ya. Ya gua bisa sih bawa motor, beneran bisa. Lo bisa istirahat dulu..." sungguh aku tak mampu merangkai kalimat ketika tahu, mungkin ucapanku akan menggores harga dirinya sebagai kaum adam. Tapi apa daya, aku hanya menawarkan.
            "Enggak."
            Aku menghela nafas. Kami lanjut bersenda gurau. Acle berlagak seperti orang ketiduran, dan berkali-kali aku memukulnya agar tidak bercanda.
            Hingga kami berbelok memasuki pom bensin di Kota Bogor.

_-#RISAMSI19-_

            Kami, para akhwat duduk di bangku tunggu di depan toilet pom. Sementara Sidney menyelesaikan urusannya dengan Toilet, Acle datang. Pemuda itu juga berniat menggunakan toilet.
            Aku menghampirinya, "Cle, gua udah bilang sama Sidney. Nanti gua naik motor sama dia aja, lo sama Ojan. Biar lo bisa istirahat juga,"
            "Enggak, sa."
            "Lo udah ngantuk ah, ngeri gua."
            Dan Acle tetap menolak. Aku menghargai keputusannya, kemudian duduk dibangku bersama Intan dan Saskia. Status kami masih menunggu Sidney di dalam sana.
            "Niatnya mah dateng kesini buat ngaca, eh gaada kaca." sahut Saskia seraya merapihkan posisi lipatan kerudungya.
            Intan tertawa, tanda setuju.
            Tak lama, Acle keluar dari toilet. Kami tertawa, "Lah Sidney yang masuk duluan kenapa Acle yang keluar duluan,"
            Tak lama setelah itu, gadis minim ekspresi itu keluar. Kami kembali ke rombongan.
            Untuk memenuhi sholat Jum'at, para lelaki memutuskan untuk mencari Masjid. Kami melanjutkan perjalanan kearah Kabupaten Bogor, mencari Masjid yang satu arah.
            Perjalanan kami terjeda di sebuah Masjid yang lumayan besar di kawasan itu. Masjid Baiturrahman. Sayang sekali Path ku terhapus ketika ponsel ini di format. Tidak seperti Intan dan Dhani, sejak tadi aku tidak update di Path.
            Kami para akhwat menunggu enam orang ikhwan melaksanakan kewajiban sekaligus kebutuhannya. Mengisi waktu dengan mengganjal perut, kami sibuk dengan gadget masing-masing. Bagaimana tidak, kami semua cukup lelah untuk lanjut tertawa.

_-#RISAMSI19-_

            "Intan...!!!"
            Teriakan Dhani dari luar masjid menembus indra pendengaran kami. Yang dipanggil hanya menjawab seadanya. Kami baru saja selesai sholat zuhur.
            "Cepetan, perjalanan kita masih sejam lagi...!"
            Pukul 1 tepat, dan kami masih berstatus musafir.

_-#RISAMSI19-_

            "Gua suka, deh, cuaca ini," sahut Acle memecah hening.
            Aku menengadah, "Ini? Panas, ah." jawabku santai. Memang panas di Ciawi tidak se-panas di Bekasi.
            "Ini emang panas, tapi adem. Gua suka."
            Aku mengangguk. "Bagi gua, panas ini sama kayak panas di Bekasi jam dua atau tigaan."
            Wajar, karena kami terjebak macet. Setiap motor berlomba, menyalip dua baris mobil dalam satu arah. Jalanan menanjak yang diisi kemacetan ini cukup membuat semua orang terpaksa melek. Salah sedikit saja—seperti tidak menahan rem, akan merugikan orang lain.
            Kami berbelok, mulai memasuki kawasan Puncak. Aku, Acle, Ferdi, Saskia, Ojan, dan Sidney menepi, menunggu kawanan lain yang masih terjebak macet diluar sana. Tidak lama setelah itu, Azat dan Intan datang. Kami masih harus menunggu Adit dan Dhani.
            "Oiya, itu kan nanjak, ya. Emang motornya Adit kuat?"
            Ah, aku lupa. Di bendungan ketika kami baru saja memasuki Bogor, ada hal terjadi. Tempat itu dikenal dengan Garis Katulampa, atau Bendungan Katulampa. Jalanan menanjak—hampir sembilan puluh derajat harus kami lewati. Ferdi lah yang pertama menanjak. Dengan kemampuan motor mio dan berat badan Saskia—dengan lugunya Ferdi mengerem—lalu menoleh ke belakang. Berniat menunjukkan pada Saskia pemandangan diatas bendungan itu.
            "Woy, woy, woy, Fer!! Jangan berenti!!!" Ojan yang mengemudi di belakangnya shock. Sidney, penumpangnya segera turun agar motor bisa menanjak tanpa beban.
            Acle yang berada di belakang Ojan juga kena imbasnya. Aku terpaksa turun, lalu mendorong motor Acle, memaksanya naik keatas.
            Aku menoleh ke belakang, kearah Dhani dan Adit yang sejak awal memang sudah berniat untuk mendorong motor. Ketika di bengkel motor, Dhani menginformasikan berat badannya mencapai angka delapan puluhan.
            Tidak se-damai Intan dan Azat. Gadis itu duduk tenang di jok belakang sementara Azat memperjuangkan motornya untuk tetap kuat naik keatas. "Zat, kuat, ga? Gua perlu turun, ga?" sempat-sempatnya nanya.
            "Enggak. Eh, turun aja," sahut Azat, "eh, gausah, deh,"
            Kami para penumpang—kecuali Intan menanjak dengan kaki. Beat merah milik Ojan mengambek. Mesinnya tidak mau menyala meski majikannya sudah berusaha.
Kami menunggu dibalik tikungan. Berharap cemas agar motor Ojan baik-baik saja.
            Tidak lama, Ojan dan Sidney muncul dari balik tikungan dengan beat merah yang terlihat sehat. Dan kami melanjutkan perjalanan.

_-#RISAMSI19-_

            Saskia membentangkan tangannya lebar, "Ih gila Fer ini adem banget, sumpah ini sejuk banget, sumpah seger banget, Fer,"
            Gerakan itu selalu diulanginya ketika melewati jalan yang mengasupkan udara segar. Tidak peduli akan mengganggu pengendara motor lain, Saskia akan terus melakukannya.
            Kami menyusuri jalan berliku, menanjak dan memutar. Saling menunggu jika pemandu jalan sudah berbelok. Berbincang sambil menunjuk objek-objek yang jarang. Tertawa ketika melihat hal yang dianggap lucu.
            Hingga kami melihat sebuah gapura bertulis 'CURUG PANJANG' dan beberapa motor mengantri di depan pos. Seorang petugas menunjuk kearah jejeran motor, meminta kami membariskan motor disana.
            Kami melepas peluh. Membuka helm, mengeluarkan dompet, membayar tiket masuk tempat wisata. Mengabaikan pertengkaran kecil diantara Adit dan Ferdi, kami menaiki trek batu, menanjak kearah suara sumber air.
            Tidak seperti Cilember, Curug Panjang memiliki wadah yang luas. Derasnya arus air terjun menggantikan suara kami. Beberapa orang dan keluarga asik bermain air, menyiprati satu sama lain. Beberapa diantara mereka ada yang mengarahkan gadget dan dijepit oleh sebuah tongkat besi—atau lebih dikenal dengan tongsis. 
            Kami menuruni tangga, mencari lapak untuk meletakkan barang-barang. Para Ikhwan meminta agar kami—akhwat memasakkan mie sementara mereka bersenang-senang. Cukup tidak adil.
            Tak ada peraturan, tak ada tata tertib. Mereka mengacau. Rusuh. Tidak mau kalah. Sepanci—ya, tak ada mangkuk, mie kuah itu kami taruh di panci—se-panci mie ludes telak dalam waktu singkat. Kami melanjutkan ronde dua. Saat itu pula Saskia dan Sidney meninggalkanku, Intan, dan Azat yang tidak ikut berenang dengan alasan tak bawa baju ganti. Aku tak mengerti. Sudah jelas kami akan ke Curug.
            "Gua mah dateng kesini buat mengayomi anak-anak aja, dah."
            Saskia memanggilnya dengan sebutan 'papah'.
            Kami ber-sembilan—Aku, Intan, Saskia, Sidney, Adit, Ojan, Dhani, Ferdi, dan Acle berpose di depan kamera. Beralih gadget dari milik Dhani ke milik Sidney dilengkapi tongsis milik Intan, kami mengabadikan momen.
            Kau tahu apa yang akan kau lakukan jika bertemu air. Seperti cari perhatian dengan berlagak berani bertahan ditengah arus deras, atau berwaspada agar gadget tidak meleset dari jepitan tongsis, atau tidak berhenti nyengir di depan kamera, atau berenang dan berteriak ketika kau hampir tenggelam.
            Tetes demi tetes tumpah. Kami menengadah ke langit kelabu siang itu. Tidak terlalu berpengaruh, tapi kami tahu bahwa hujan telah turun.
            "Woy, ujan, ujan!!!"
            Aku tidak mengerti. Memangnya kenapa kalau hujan? Toh kita juga sudah dibasahi oleh air.
            Setiap orang naik keatas batu, berlari kecil ke tempat dimana mereka memangkal.
            "Barang-barangnya! Cepet selamatin barang-barang kita!"
            Aku terksiap. Oh, ya, kami punya hal-hal yang harus diselamatkan. Segera diriku menepi, menaiki batu besar—walau sekali terpeleset, lalu bergegas menuju kawanan berada. Beberapa diantara mereka sudah meneduh dibawah pohon besar. Aku menghampiri Ferdi yang masih sibuk mengepak barang-barang meski gerimis sudah berganti menjadi hujan deras. Kutatap sebuah ponsel berwarna hitam putih terbaring indah diguyur derasanya peluru air. "Fer, Fer, itu hapenya sini!"
            Ferdi tertawa kecil. "Hape siapa ini, hahaha,"
            Aku meraihnya. "Punya Intan ini," jawabku berbalik, lalu bergegas menyusul mereka. Kusodorkan benda itu, dan langsung digenggam erat oleh pemiliknya. Dhani meledeki, takut-takut ponsel itu tak bisa diaktifkan lagi.
            "Wih, hape lu kuat, Tan, hahaha...!"
            Tak ada yang perlu di khawatirkan. Ojan meminjam payung ke seorang pedagang baso Cuanki yang juga meneduh bersama kami—untuk mengantarkan kami ke atas, tempat dimana warung yang akan menjadi base kami berikutnya.

_-#RISAMSI19-_

            Adit lebih dulu mandi dan berganti pakaian. Sembari menunggu hujan reda, kami mengabadikan momen lagi. Bercengkrama, tertawa bersama, membully, kami isi waktu dengan hal-hal seperti itu. Mungkin kami tak akan merasakannya lagi suatu hari nanti. Perasaan ketika kesal karena perkataannya tak digubris, atau tertawa renyah karena tidak mengerti arah pembicaraan.
            Hujan reda kala itu. Kami—aku, Saskia, Sidney, Intan, Ojan, dan Acle turun—melanjutkan kesenangan kami yang tertunda. Arus air dibawah air terjun telah berubah warna.
            Kami mengeluh ketika kejernihan air tidak sesuai yang di harapkan. Lalu, siapa peduli? Kami tetap masuk ke dalam air dan saling menyiprati. Hanya kami disana. Kamilah pemilik Curug Panjang kala itu.
            Ferdi datang membawa panci. Katanya, benda itu digunakan untuk mengambil air. Mereka mengatakan untuk melanjutkan masak ronde ketiga.
            "Pinjem, dong, Fer, pancinya." pinta Sidney datar.
            "Ah, jangan, lagi ngumpulin air ujan,"
            "Ih bentar mau liat airnya,"
            Dengan berat hati, Ferdi menyerahkannya. Sidney mengisi panci dengan air, lalu memperlihatkan pada kami isinya. Beberapa butiran cokelat lah yg mengontaminasi warna air.
            Kami hanya duduk dipinggir, diatas batu besar ketika arus mulai deras dan menimbulkan suara gemuruh kencang. Terkecuali Acle. Lelaki itu masih asik berbaring diatas batu-batu. Mungkin hantaman arus air membuat dirinya nyaman berada disana.
            Hawa dingin menusuk pori-pori kulit. Aku bergetar. Menatap lurus kearah kulit telapak tangan yang sudah berkerut, kami menjadikan objek itu sebagai bahan candaan. Sidney lah yang lebih keriput. Diam-diam gadis itu sangat kedinginan.
            "Mana dingin? Gak begitu dingin, ah." sahut Saskia. Dasar anak gunung.
            Gemercik hujan digantikan oleh peluru air. Kami bergegas dan kembali keatas. Menapaki tangga batu yang menghantarkan kami ke warung tempat kawanan berada. Kemudian satu-persatu diantara kami bergantian untuk sholat Ashar dan mandi.
            Aku dan Intan turun ke toilet umum untuk berganti sambil mencari sebuah gagangan panci ditempat awal kami menetap. Mencari dibawah pohon besar tempat kami meneduh. Jika hilang, Intan akan mendapat masalah besar.
            Selesai, kami kembali keatas, mendapati Saskia lebih beruntung karena berganti baju dirumah pemilik warung. Ah, tau begitu, kami tak perlu repot-repot ke bawah.
            Sekalian numpang sholat dan segala macam, waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam. Kami bersiap untuk pulang. Masing-masing dari kami sibuk memakai jas hujan, atau menawarkannya.
            "Sa, pake jas ujan, Sa." tawar Acle menyodorkan sebuah jas berwarna biru dongker.
            Sejak kecil, aku membenci jas hujan. "Enggak, ah, lo aja." jawabku menggeleng. Bagiku, lebih baik basah kuyub daripada gerakanku dibatasi oleh pekatnya jas hujan.
            "Dingin, Sa, entar lo sakit,"
            Aku masih membantah. Mungkin Acle lelah, sehingga ia melingkarkan benda tersebut di punggungku, lalu memasangkan tudungnya di kepalaku. Karena sudah dipakaikan, tak enak hati juga jika kulepaskan.
            "Nah ini baru cowok!" sahut Intan menunjuk Acle diselingi tawanya. "Jas ujan tuh langsung dipakein, bukan cuma disodorin doang...!"
            "Acle hari ini cowok banget,"
            "Antara modus sama..."
            "Kenapa, sih?!" yang diledeki angkat bicara. "Gua berbuat baik dikit udah diomong-omongin."
            Kami turun dari Curug Panjang. Menapaki batu-batu, melintasi aliran air terjun, menuruni trek datar, berpegangan kalau-kalau ada yang terpeleset—hingga sampai di tempat dimana kami memarkir motor.
            "Ayo kita ngebut, ya, soalnya kabut udah turun," ujar Dhani memperingatkan.
            Aku merapatkan jas, lalu mengenakan masker. Baru saja Acle akan memakaikan helm di kepalaku, tanganku langsung menepisnya, "Udah, udah, gua bisa, kok."
            Kau benar. Antara cowok banget atau apa, Acle cukup baik di waktu itu.
            Kami melaju, menuruni jalanan berliku. Sunyi. Masing-masing dari kami berharap agar baik-baik saja. Berharap agar kami bisa mendahului kabut, atau tidak terjadi hal-hal mengerikan ditengah jalan licin.
            Kami melihat lagi, Saskia membentangkan tangannya lebar. Biarlah, mungkin dia sangat menyukai udara di pegunungan.
            Merasa pegal karena tidak terbiasa dengan jas hujan, aku menggeser posisi duduk. Seharusnya hal itu tidak terlalu mencolok, tapi Acle menanyakannya. "Lo kenapa, Sa?"
            "Hah? Kaga,"
            "Itu tadi kenapa?"
            "Oh, kaga kok." kataku singkat. "Kok lo tau, sih? Perasaan tadi gua gerak gak gerak-gerak banget, dah,"
            "Tau lah, Sa. Gua kan—“
            Suaranya dibawa angin dan gemuruh langit. Aku memajukan kepala, "Apa?"
            "Gua kan Ninja, Sa."
            Aku menatap jalanan sepi. Ingin merespon, tapi apa daya. Teringat ucapannya yang bersikeras mengatakan, "Tapi Itachi itu pahlawan yang sebenernya!!" tegasnya pagi tadi.
            Aku membuka mulut, "Udah, Cle, sekarang ini lo harus fokus ke jalanan. Gaada Ninja-Ninjaan, fokus."
            Kami melanjutkan perjalanan, menuruni jalan berliku. Hari sudah gelap kala itu. Masing-masing dari kami pasti menikmati pemandangan di gunung. Aku menoleh ke kanan, "Cle! Liat, dah! Indah banget!!!"
            Kau tidak akan melupakan hal yang kau lihat jika menuruni gunung di malam hari. Sebab rumah-rumah warga di gunung memberi hal yang menakjubkan. Normalnya, orang-orang akan menyalakan lampu di malam hari. Dan susunan rumah warga yang tak beraturan—mengikuti dataran gunung—kau akan melihat jajaran lampu bertingkat disana. Kau tidak melihat rumah mereka. Kau melihat lampu-lampu yang mewakili rumah-rumah mereka. Kau akan lelah jika menghitungnya.
            Satu hal yang perlu kau lakukan hanyalah, menikmati pemandangan itu. View yang hanya bisa kau lihat ketika di Gunung.

_-#RISAMSI19-_

            Kami sudah menuruni gunung dan sudah di jalan raya. Menepi di sebuah masjid yang tidak bisa disebut besar, untuk melaksanakan sholat maghrib disana.
            Dhani membuka jaket berwarna oren yang dibanggakannya, memperlihatkan kaos basah yang dikenakannya. Intan mengomelinya seperti emak-emak. Sejak awal, Dhani ngeyel. Lelaki itu tak ingin mengenakan jas hujan karena percaya jaket itu akan melindunginya dari dinginnya cekaman peluru air.
            Dengan modal meminjam baju dan training milik Acle, Dhani mengganti pakaiannya. Menjamak sholat maghrib dan isya, lalu kami lanjut perjalanan.
            Motor-motor melaju, mengiris jalan arteri, berbelok untuk saling menyalip, menahan rapatan jas hujan agar tidak terbang dihembus angin, berlomba-lomba dalam mengejar waktu.
            Menurut cerita Intan, inilah awalnya. Azat tiba-tiba bersuara. "Tan, cek, dah. Di tas gua ada baju ga,"
            "Apa? Basah? Hah?" tanyanya ketus. Sejak awal gadis itu memang sudah memperingatkan agar Azat menggunakan jas hujan. Tapi pemuda itu keras kepala. Kau tahu jaket tak akan menyelamatkanmu dari kejamnya air.
            Dan menepilah kami di pinggir jalan raya. Di depan sebuah rumah kecil dengan mobil bak terparkir di garasi tanpa pagar, Azat melepas jaketnya. Mengeluarkan sebuah kaos dari dalam bajunya.
            "Jangan bilang lo mau ganti disini?!"
            "Ngeyel, sih, kalo dibilang."
            "Jangan bilang kita masih di Bogor," kataku seraya celingukan, mencari papan yang mungkin saya menyertakan alamat jalannya.
            Acle menunjuk kearah plang berwarna putih disebrang jalan. "Tuh, liat aja,"
            Aku menghela nafas. Bogor benar-benar luas. Bahkan setelah lama kami diguyur gerimis, jalanan ini masih di Bogor.
            Azat melepas kaosnya—tanpa sadar si pemilik rumah keluar. Pria berkumis tebal menatap Azat, lalu sesekali memalingkan pandangan. Yang berganti baju acuh. Ia tak menoleh ke belakang sama sekali. Entah tidak sadar atau apa, kedua alisnya masih bertaut bahkan ketika mengenakan jas hujan dari Intan. Sebagai gantinya, Intan memakai jaket Azat yang katanya tahan air itu.
            "Yah, bukannya dari tadi kek lo, Jat."
            "Ini mah gua udah nyampe komsen harusnya. Kalo jalan terus, gua udah di Bekasi, nih."
            Dan Kami melanjutkan perjalanan.
            Masalah tetap masalah. Kami kehilangan jejak Ferdi dan Adit. Menepi lagi di jalan raya, kami saling bertukar informasi. Berusaha menghubungi Saskia atau pun Dhani.
            Menurut cerita Saskia, ini lah yang terjadi. Sama halnya dengan Dhani dan Azat. Ferdi basah kuyub. Mereka memutuskan untuk menepi di pinggir trotoar dan berganti pakaian. Dengan berat hati, Ferdi menurutinya. Ia akhirnya sembunyi dibalik gapura hotel—yang menyediakan semak-semak sebagai pelengkapnya. Tidak peduli tatapan orang-orang yang melintas, Ferdi menanggalkan bajunya.
            Niatnya Saskia ingin membelikan Ferdi sebuah jas hujan. Berhubung harganya mahal, mereka lanjut melaju.
            Hingga akhirnya Allah mempertemukan kami kembali. Sedikit menyalahkan, kami melanjutkan perjalanan. Menembus kobaran angin, menusuk rintikan hujan yang cukup menghalangi pandangan.

_-#RISAMSI19-_

            Kami masih berada di Depok ketika waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Masing-masing dari kami berusaha menghubungi orang tua. Ya, kami menepi di pom bensin untuk mengisi bensin motor Intan. Mio boros.
            Merasa hujan sudah reda, aku memutuskan untuk melepas jas hujan.
            "Cle, lo ada baju lagi, gak?" tanya Intan dengan raut wajah memelas.
            Oh, iya. Dibalik jaket abu-abu itu pasti tak ada lagi warna terang yang tersisa. Mengalihkan pandangan kearah Azat, berharap lelaki yang satu motor dengan Intan itu akan angkat bicara, atau sekedar membantu Intan mencari pakaian gantinya.
            "Baju koko Acle itu aja,"
            Intan mengenakan baju muslim milik Acle sebagai gantinya. Ferdi memiliki masalah yang sama. Ia melepas baju lagi untuk kedua kalinya, dan menggantinya dengan sweater milik Saskia.
            Tukang gorengan di dekat kami memukul-mukul wajannya. Inisiatif, Dhani menawarkan untuk mencoba beberapa gorengan. Membeli, lalu membagikannya pada kami.
            Acle sibuk mengeluh, mencari kunci rumahnya yang hilang ditelan tas. Para lelaki sudah menenanginya dengan mengatakan, "Udah, Cle. Entar dulu, ntar pas di rumah Intan aja nyarinya. Sekarang kita lanjut jalan dulu. Udah malem ini..."
            Suasana hati Acle tidak bagus kala itu.

_-#RISAMSI19-_

            Sunyi senyap. Kami menyusuri jalan satu arah yang cukup sepi. Disisi kanannya berupa deretan dinding, dan sisi kirinya tanah kosong dengan beberapa rumah warga.
            Aku menengadahkan tangan, membiarkan sisa rintik-rintik hujan membasahi telapak. Sejak dulu aku membenci hujan. Langit yang menurunkan penderitaan itu, tak ada yang spesial dari hujan. Mereka datang untuk membuatmu naik darah.
            Tapi kali ini lain. Entah karena hari ini sangat spesial atau aku sangat bahagia, atau kulitku yang sudah mati rasa, atau karena hal lain, aku merasakan sesuatu yang baru.
            Tak ada gugusan bintang berhamparan di langit malam itu. Tak ada pemandangan indah kala itu. Untuk pertama kalinya, aku merasakan hangatnya hujan. Entah karena dinding diantara kelima motor ini yang saling menghangatkan, atau karena aku sedang berada diantara mereka.
            Aku tidak pernah tahu bahwa hujan akan sehangat ini.
            Ketika kau merubah sudut pandangmu, semuanya akan berubah.

_-#RISAMSI19-_

            Acle memacu mesin motornya. Mengeber gasnya. Bermain dengan Ferdi di sebelahnya. Ingin mendahului Ferdi, tapi tak tahu jalan. Ingin dibelakang, tapi Ferdi menjaga kecepatannya.
            Merasa risih, Saskia mengomel. "Kalo mau maju ya maju, mundur ya, mundur!"
            Nihil. Acle masih ingin bermain. Berapa kali pun dibilang, lelaki itu mungkin sedang menenangkan dirinya dengan kebutan.

_-#RISAMSI19-_

            Kami sudah di Kranggan. Merasa sudah tahu jalan, Acle mendahului Ferdi sebagai pemandu jalan. Melesat cepat ditengah jalanan sepi. Aku mencengkram pelan pundaknya ketika si pengemudi menyalip diantara motor dan mobil. Menikmati kencangnya hembusan angin malam, aku memejamkan mata.
            Hingga kami sudah berada di daerah komsen. Berbelok dan mengikuti jalan. Tiba di depan pasar rebo, Acle banting stir ke kiri tanpa rem.
            "Gak jadi kerumah Intan?"
            "Lo mau kesana?" Acle balik bertanya.
            Aku mengalihkan wajah. "Te-terserah elo, sih..."
            Acle semakin memacu mesin motornya. Melaju cepat menyalipi jenis-jenis kendaraan. Aku memajukan wajah lagi, "Nyari kuncinya?"
            Dan pertanyaanku tidak digubris. Aku menoleh ke belakang. Mengikhlaskan makanan-makanan yang seharusnya akan disajikan Intan jika kita kerumahnya. Tapi, ya, apa boleh buat. Pulang lebih larut dari jam ini, aku mungkin tak akan bisa lagi pulang ke rumah.

_-#RISAMSI19-_

            Acle menepi di pinggir jalan yang tidak terlalu sepi. Melepas jas hujan dan melipatnya. Aku berinisiatif untuk membuka tas nya dari depan, membantunya mencari kunci rumah.
            "Mana? Ga ada kan, Sa."
            "Belom." sahutku.
            Baru saja aku membuka isi utama tasnya, meraih sebuah kain—yang tentu saja kucurigai. "Tuh, Cle, lu buka disini aja. Gua agak gimana gitu," ujarku menyodorkan tasnya. Malam itu temaram, sulit bagiku untuk mengenali isi tasnya.
            "Kenapa? Gaada apa-apa,"
            Aku diam sejenak. Teringatnya, pakaian basah Acle disimpan di bagasi motor. Aku mulai berani membuka tasnya, dan merogoh isinya. Meraba setiap benda yang berada di dalamnya, dan menyentuh sesuatu yang cukup keras. Kudekatkan wajahku ke dalam tas, membuat akses agar bisa melihat apa yang kupegang.
            Awalnya aku ragu. Tapi kemudian, wajahku berubah datar. Kukeluarkan benda yang digantung oleh tali itu, lalu menyodorkan ke pemiliknya. "Terimakasih atas segalanya ya, Cle."
            Lelaki itu menatap benda yang kuberikan. Ekspresinya berubah didukung bibirnya yang menyungging lebar, "Kok ada sih, Sa?"
            "Ya, tangan gua emang bisa begitu—“ kataku mengangkat alis.
            "Tapi—“
            Aku beranjak.
            "Thanks, ya, Sa. Hati-hati!"
            "Yayaya, sama-sama," jawabku berbalik. "Lo juga hati-hati,"
            Harusnya aku yang bilang begitu.
            Kemudian aku berjalan memasuki gang. Menghembuskan nafas ringan, lalu berjalan cepat.
            Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, aku selalu menyiapkan hadiah untuk diriku sendiri. Tapi tahun ini, aku tidak menyiapkannya.
            Terimakasih, atas kebersamaannya.

_-#RISAMSI19-_

            Aku memang berniat untuk menulis cerita ini, bahkan sebelum Fatma memintanya.


"Dilahirkan oleh sebuah kegiatan. Dikembangkan oleh hangatnya kebersamaan. Dimekarkan oleh indahnya cinta dan perjalanan." #RISAMSI19