Friday 25 November 2016

Sepatutnya Hamba Menerima

Seringkali hidup tidak berjalan semestinya. Seringkali yang terjadi di luar ekspetasi. Belakangan, ‘berharap’ menjadi sebuah keraguan—karena membayangkan sakitnya jatuh, atau membiarkan diri dijatuhkan. Banyak hal dapat memengaruhi hati, mengontrol tindakan, mengubah pola pikir, mengokohkan keteguhan, atau juga meruntuhkan keyakinan. Sebenarnya, nggak ada yang salah sih dengan itu, selama hati tidak bimbang, maka pilihan itu benar.
Setiap kali badai menerpa, kita selalu meminta agar dikuatkan. Agar tetap berdiri kokoh menantang kisruh laju angin. Agar mampu melangkah meski udara berbalik menyerang. Agar terus menatap walau jutaan pilu paksa memerihkan mata. Dan kita selalu berdoa agar bisa terus melangkah dan menerima realita—agar dilancarkan menaklukkan gurun cobaan.
Pada dasarnya, kita semua lemah.
Pada dasarnya, kita semua cengeng.
Lalu kita diajarkan dengan latihan; mengatasi memar, bengkak, hingga berdarah. Kita diminta sadar bahwa hidup adalah rangkaian proses menjahit luka. Dengan benang kesabaran dan teknik merajut bahagia.
Usai sukses melewati puncak, kita melandai. Bertemu lagi dengan banyak cerita. Diajari lagi tentang sesuatu. Suatu hal yang mampu diterka tergantung dari sudut mana kita memandang. Kita bebas memilih untuk bersyukur atau mengeluh—karena keduanya benar. Sebab kita adalah manusia dan keduanya sifat alamiah.
Barangkali dengan bersyukur kita akan bertahan di lingkar bahagia. Atau mengeluh sampai lelah—hingga menemukan jawaban, dilakukan atau tidak, semua sudah terjadi, dan akan tetap terjadi. Lalu bisa jadi kita belajar tentang ikhlas. Tentang menerima. Tentang merelakan.
Namun, bagian terbaik dari semua itu adalah, kenyataan bahwa Dia memilihmu. Untuk berjuang di jalan ini. Untuk bertahan di jalur ini. Untuk menyadarkan kamu adalah yang terpilih. Diajadikan kamu  berkeluh kesah sebagai bukti cinta. Dia jadikan kamu lemah agar bergantung pada-Nya.
Mungkin memang begitulah hakikat cinta.
Dengan ujian, rintangan, beban, air mata, darah, sakit—agar kembali pada-Nya. Agar tak lupa siapa diri kita sesungguhnya.
Bahwa kita adalah hamba. Budak-budak yang diberi kenikmatan untuk mencinta. Untuk mensyukuri. Untuk berkeluh kesah. Untuk bahagia. Untuk menjalani skenario yang sudah lama dituliskan.
Karena pada dasarnya kita adalah hamba. Yang harus mampu menerima, meski segalanya terjadi tidak sesuai kemauan hati, meski harus mengaratkan mimpi, karena kita adalah hamba.
Dan sepatutnya hamba menerima.
“…. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. 2:216]
Bekasi, 25 November 2016 (posted on : http://strongestinuniverse.tumblr.com/post/153624744987/sepatutnya-hamba-menerima )

referensi : 
“…. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan… —” [QS. 22:78]

Wabishah bin Ma’bad mendatangi nabi, lalu beliau bersabda, “Engkau datang hendak menanyakan perihal kebajikan?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Mintalah fatwa pada hatimu sendiri. Kebajikan itu ialah yang membuat tenang jiwa, juga membuat hati tenang merasakan. Sedang dosa ialah apa-apa yang engkau rasakan bimbang dalam jiwa serta berbolak-balik, sekalipun orang banyak telah memberikan fatwanya padamu.” 
(HR. Ahmad dan Ad-Darimi)

No comments:

Post a Comment