# Special for my bornday #
Warning : Alur Cepat!
.
.
.
.
I’ve only use excuses to pretend I’m not hurting.
-00-
Sudah beberapa hari sejak aku pindah ke sekolah ini, Kurosaki Gakuen.
Selama ini yang selalu menarik perhatianku adalah, sesosok gadis ceria yang
selalu bergerak layaknya remote control baru di charge penuh. Dia
orang yang sangat enerjik. Setiap waktu luang disekolah, ia habiskan waktunya
untuk keluar kelas menuju kelas lain.
“Nakayao, bagaimana harimu kemarin? Menyenangkan?” tanya seorang lelaki
berambut cokelat tersenyum kearah gadis itu. Ya, nama gadis periang itu adalah
Nakayao.
Gadis itu mengangguk keras
seraya tersenyum lebar. Seketika tempat duduknya ramai. Aku langsung sadar
bahwa Nakayao lah, poros keramaian itu. Sudah lama aku tahu bahwa Nakayao
disenangi semua orang.
Bel istirahat berbunyi.
Sebagian siswa mengeluarkan bekalnya, dan sebagian yang lain pergi keluar
kelas—termasuk Nakayao. Gadis itu bersenandung riang sembari melompat
kegirangan keluar kelas. ”Mau ketempat Makoto lagi?” tanya seorang pria
berkacamata diambang pintu.
Lagi-lagi gadis itu
mengangguk—tak lupa senyuman lebar di wajahnya. Aku menghela nafas dan membuka
kotak bekalku. Kusumpit gumpalan nasi beserta omelet
buatan ibu, lalu melahapnya tenang. Kunikmati bekal ini dalam sunyi. Ya,
semuanya mendadak sepi setelah gadis ceria itu pergi keluar kelas.
Semenit setelah itu, diluar
kelas terdengar bising sekali. Aku mengintip dari jendela kaca, mendapati
keramaian disudut lorong sana—didekat tangga. Masih ragu, aku letakkan sumpit
dan pergi keluar kelas—bergegas menuju keramaian. Aku tak bisa menahan rasa
penasaran lebih lama lagi.
Kini yang kulihat adalah
sesosok gadis bertubuh ramping terbaring tak berdaya dibawah tangga sana. Itu
adalah Nakayao. Apa gadis itu terlalu bahagia sampai tidak memerhatikan
kecerobohannya? Manaku tahu. Yang kulihat adalah, kedua temannya langsung mengomeli
habis-habisan sembari memapah dirinya. Sedangkan yang menjadi korban hanya
terkekeh sambil tersenyum.
Aku menyadari keanehan gadis
itu.
-00-
Hari ini aku datang terlalu
pagi. Kulepaskan sepatu dan mengenakan uwabaki—lalu
menaiki tangga dan menuju kelas 1B. Seperti yang kuduga sebelumnya, sepi. Aku
segera menuju bangku didekat jendela dan duduk disana. Aku mengeluarkan sebuah
buku bermata pelajaran ’Jepang Modern’ dari dalam tas dan membacanya. Pandanganku teralihkan pada sepasang insan
dibawah sana. Aku menaikkan posisi kepala, mencoba mengintip kebawah. Seorang gadis periang dan seorang pria
berbalut perban di kepalanya berjalan beriringan.
Itu Nakayao. Gadis itu
terlihat tertawa riang sementara pria berkulit cokelat disampingnya terlihat
menaggapi—namun ekspresinya datar. Kuperhatikan baik-baik, senyum yang indah. Beda dengan yang kulihat selama
ini.
Kemudian aku melanjutkan
aktivitasku.
-00-
”Sebentar ya, aku sedang menyelesaikan
tugas. Sedikit lagi!”
Mataku mengekori. Seorang pria
berkulit cokelat dengan lilitan perban di kepalanya duduk diatas meja tempat Nakayao berada.
Semenjak kedatangan pria itu, tak seorangpun menyapa Nakayao seperti biasanya.
Sudah jelas, karna aku juga merasakannya. Keberadaan pria itu, membuat aura
disekitarnya menjadi gelap, matahari seolah redup.
”Cepatlah.” ketus pria itu dingin.
Nakayao membalas dengan
kekehan ringan sambil meneruskan aktivitasnya. Aku juga menyelesaikan
catatanku. Guru Bahasa tadi terlalu cepat menerangkannya, aku jadi harus
mengingat dan mencatat lagi apa yang dijelaskannya. Kemudian suasana terasa hening,
mataku mengekori mereka lagi.
”Maaf, ya, aku menyusahkanmu
lagi...”
Aku tak henti menatapnya.
Wajah Nakayao berbeda saat ini. Wajah itu terlihat menyesal. Wajah sendu yang
sangat langka sekali ia tunjukkan.
”Kalau kau meminta maaf lagi,
kubunuh kau.” jawab pria itu dingin.
Kemudian Nakayo tersenyum,
kembali tertawa.
Cukup lama aku memerhatikan
gadis polos itu. Kemarin ia jatuh dari tangga, bukan? Tapi tidak ada memar
ataupun bekas luka diseluruh tubuhnya. Aku melihat jelas kepalanya berdarah
kemarin.
”Tsuyoshi-san? Kau belum
pulang?”
Aku tersentak. Mata kami
saling bertatapan sekarang. Aku ganti menoleh kearah pria berkulit cokelat yang
kini menatap intens mataku. ”Kamu belum pulang?” tanya Nakayo lagi, lembut.
Masih berdebar, aku segera
mengangkat buku catatanku, ”I-ini sebentar lagi selesai, haha...” tawaku
hambar.
Nakayao balas tersenyum, lalu
memasukkan buku-bukunya kedalam tas. ”Duluan, ya!” sahutnya riang. Pria
berbalut perban di kepalanya itu mengekor dibelakang Nakayao, pergi keluar
kelas.
Aku berhenti menyengir,
menarik bibir yang terangkat menjadi datar.
-00-
Sudah beberapa hari setelah
aku mendalami peran sebagai stalker. Pria yang selalu bersamanya itu
bernama Makoto kelas 3A, yang selama ini digosipi sebagai kekasih Nakayao. Itu
hanya gosip, jadi tidak terlalu pengaruh padaku. Terakhir kulihat, Makoto
tampak sudah sehat. Kepalanya tak lagi dililit perban.
Detik demi detik, menit demi
menit berputar. Nakayao sudah tiba dikelas dan langsung disambut hangat oleh
seisi kelas. Ia tertawa sebentar, lalu menggaruk kepalanya. Kemudian ia mengeluarkan
sebuah bukunya, menarik bangkunya ke mejaku—duduk dihadapanku.
”Boleh minta bantuan? Aku
ingin kamu mengajariku PR Matematika...”
Ia memohon sambil memasang puppy eyes. Dia berhasil merayuku. Baru saja aku menarik buku
PR nya, seorang lelaki datang sambil menepuk bahunya keras. ”Tumben tidak minta
ajarin Makoto-senpai?”
”Uuuh, sakit tahu!” dengus
Nakayo seraya balas memukul pinggul lelaki itu.
”Kemana dia?” tanya lelaki itu
akhirnya, setelah lama bercanda.
Nakayao terlihat berpikir. Kemudian
ia menjentikkan jarinya, ”Tidak tahu, absen mungkin.”
Ambigu. Jawabannya terlalu
mencurigakan untuk disebut jujur. Mataku mengekor lagi, senyum diwajah itu
menghilang sesaat setelah lelaki itu pergi. Kali ini, aku terus perhatikan
wajahnya. Namun gadis itu tak balas menoleh padaku. Semua orang seharusnya risih jika dipandangi
serupa ini. Tapi dia tidak.
Ekspresinya. Apa ia sedang
lari? Lari dari masalahnya. Lari
dari tatapanku. Lari dari pertanyaanku. Lari dari semua kemungkinan yang ingin
kulontarkan.
Ia mengangkat wajahnya, ”Aku
tidak mengerti yang ini,” ujarnya seraya menunjuk nomor tiga. Aku mengangguk
dan mencermati soal matematika itu.
”Rumahmu dimana,
Tsuyoshi-san?” tanyanya menyengir.
Aku terdiam sejenak, lalu
menjawab. ”Didekat persimpangan Shibuya.”
”Hooo...” ia mengangguk pelan.
”Rumahku di Nakano, dekat dengan Shibuya. Hari ini kita pulang bareng, ya!”
serunya riang.
Senyuman itu... janggal.
Sesaat setelah ia fokus pada PR Matematikanya, aku menangkap sesuatu. Aku tahu
bahwa wajah itu palsu.
-00-
Ini hari libur. Yang kulakukan
adalah pergi ke perpustakaan kota di Nakano, meminjam buku untuk refrensi. Setelah
turun dari stasiun Nakano, aku menapakkan kaki ditempat yang sudah biasa
kukunjungi. Pandanganku tak
henti melihat orang lalu-lalang, seolah aku adalah kamera yang sedang merekam
mereka semua. Memang tidak seramai di Shibuya.
Aku melangkah pelan dan
mendapati kerumunan disana. Seorang pria dan berandalan lainnya terlihat sedang
memukulkan tongkat besinya ke segala arah. Ada beberapa orang yang terpukul,
menciptakan jeritan yang sangat keras. Kudapati sepasang manusia sedang
bergandengan tangan disana, itu adalah Nakayao dan Makoto-senpai yang baru saja
keluar dari rumah sakit Nakano.
Aku segera bersembunyi dibalik
pohon besar dipinggir jalan ini. Aku tidak langsung lari, karna ingin
memastikan bahwa Nakayo sudah pergi dari tempat ini, tempat dimana tawuran massal terjadi.
Kericuhan menyebar diseluruh distrik Nakano.
Mataku terus menghujam kedua
manusia itu. Sebuah tongkat besi melayang tepat diatas kepala Nakayao, tanpa
gadis itu ketahui. ”Nakayao, awas!!!” pekikku refleks keluar dari tempat
persembunyian. Namun aneh.
Makoto. Pria itu mendorong
tubuh Nakayo pelan, memposisikan tubuh gadis itu kearah lajunya tongkat besi.
Aku menganga. Kemudian Nakayao memasang wajah garang dan menarik kerah kemeja
Makoto, membalikkan posisi mereka. Dan ’BUUK!!!’
Aku semakin menganga. Sirine
mobil polisi terdengar saat itu juga. Para pelaku tawuran perlahan bubar.
Orang-orang berpakaian khusus terlihat menangani para korban yang
terluka—termasuk Makoto senpai. Tangan pria itu tampak mencengkram udara dan
menatap garang kearah Nakayao. ”Sial kau...” lirihnya. ”Sial kau—Nakayao...!”
Kemudian gadis itu menunduk.
Aku berlari menghampirinya, ”Apa yang kau lakukan?!” seruku cepat.
Tapi gadis itu tidak mengindahkan
perkataanku dan beranjak, terus berjalan memunggungiku. ”Apa yang kau lakukan
pada orang yang kau sukai?!” seruku lagi.
Ia menghentikan langkahnya,
kemudian melambai sedikit. ”Sayonara,
Tsuyoshi-san.”
Sayonara. Terdengar dingin dan sepi.
-00-
Hari ini, pelajaran pertama
sengaja dikosongkan untuk dijadikan waktu berkabung. Aku melihat tragedi itu,
jadi bisa kutebak untuk siapa acara berkabung ini dilaksanakan.
In memorian : Nakayao Kuroihomura
Aku mengerjap. Apa yang
kulihat adalah sebuah keanehan. Kami berkabung untuk Nakayao, untuk gadis itu.
Padahal yang kemarin terluka parah adalah Makoto-senpai. Kudengar gosip-gosip
di segala penjuru, ada yang mengatakan bahwa Nakayao bunuh diri. Adapula yang
mengatakan ironisnya cinta bisa merebut nyawa.
Rasa penasaran yang tinggi
membawaku berpijak di rumah sakit Nakano setelah pulang sekolah, hari ini. Usai
bertanya pada resepsionis, ia memberitahu kamar Makoto-senpai berada di lantai
dua nomor 33. Aku bergegas dan masuk setelah diizinkan oleh perawat yang
memberikan jangka waktu untuk menjenguk.
Setelah mengetuk pintu dan
diperbolehkan masuk, aku segera mengenalkan diri, ”Aku Tsuyoshi Nakanishi,
teman Nakayao-san.”
”Oh,” dengusnya seraya
memalingkan wajah.
Aku perhatikan seluk-beluk
tubuh pria itu. Tak ada luka sama sekali. ”Luka anda cepat sekali sembuh, ya?”
dan pertanyaanku membuat pria itu menoleh, ”kepala. Seharusnya bagian itu tidak
bisa sembuh secepat itu, apalagi yang menghantamnya adalah besi.”
Ia terbisu. Kemudian membuka
mulutnya, ”...Kau melihatnya?”
Aku mengangguk. Tidak lama
setelah itu, Makoto-senpai duduk bersila diatas ranjangnya, membuat
selang-selang infus itu terlepas. Ia lalu turun dari sana dan menapakkan
kakinya, berdiri kokoh. ”Lihat, aku sama sekali tidak sakit. Kupikir kau mengerti.”
Mataku membelakak. Aku tidak
percaya dengan asumsiku, tapi tak kusangka ini serius. Aku menghela nafas berat, ”Kalian... berbagi rasa
sakit?” pertanyaan raguku membuatnya mengangkat alis. Aku meneguk ludah,
”Maksudku... jika Nakayao menderita, maka kamulah yang merasakannya... dan
sebaliknya...”
Makoto-senpai berbalik dan
mendaratkan bokongnya acuh diatas ranjang. Ia bersila tangan, ”Kau benar. Benar
sekali,” dengusnya, ”sudah kukatakan padanya, aku tidak peduli ia harus
ditabrak truk sekalipun. Tapi dia masih saja keras kepala.”
Pecah semuanya. Benang yang
kusut ini, sekarang terurai indah. Alasan kenapa luka Nakayao sembuh dalam
sehari adalah, karna luka itu berpindah ke Makoto-senpai. Alasan kenapa Makoto-senpai masuk rumah sakit
adalah, karna Nakayao terluka lagi. Alasan kenapa Nakayao mendorong
Makoto-senpai saat tragedi tawuran masal itu adalah... karna Nakayao tidak
ingin Makoto-senpai meninggal.
”Setelah kematiannya, aku
akhirnya terlepas dari kutukan brengsek ini.”
Panas. Mataku panas. Dadaku
terasa sesak. ”Maaf...” lirihku. Kini aku merasakan bahwa diriku mulai terisak,
”maafkan aku...”
”Jangan meminta maaf, kau
membuatku muak.”
”Maaf...” lirihku lagi. Lengan
kemejaku menggesek mataku dengan keras, aku yakin wajahku memerah sangat
sekarang. Mau bagaimana lagi.
Aku sudah kalah dengan orang ini. Aku kalah dengan orang yang berada di depanku
ini.
”Sudah cukup. Untuk apa kau
meminta maaf? Tak ada untungnya. Semua sudah berlalu.” ketus Makoto-senpai acuh.
Namun aku belum bisa
menyudahinya. Aku masih terus terisak, mengakui fakta bahwa aku terlalu rapuh
untuk menerima kenyataan ini. Padahal aku bisa saja berlari dan menghalangi
pukulan itu agar tidak mengenai mereka salah satu diantara mereka. Tapi aku
terlalu pengecut untuk itu. Aku tidak cukup berani untuk melakukannya. Yang
kulakukan hanyalah sembunyi dan menonton tanpa bertindak. Aku ini memang
rendahan.
”Maaf menunjukkanmu sisi yang
seharusnya tidak kuperlihatkan...” ujarnya membuat mataku mengekor. Pria itu
duduk di ranjangnya sambil menunduk. Salah satu lengan menutupi sepasang
matanya.
Aku tidak tahu bahwa
Makoto-senpai sedang menangis dalam bisu.
26 Desember 2013
Perlahan aku mendekati Makoto senpai dan JEBREETT!! YAAK UMPANG LAMBUNG DIBERIKAN OLEH JEREMOS TETONG KEPADAA GONJALESS,PEMIRSAA!! PARA SUPORTER PUN RIUH MEMBERIKAN DUKUNGAAN! AHAAY!! SATU KOSOONG UNTUK INDONESIAA!! /salah
ReplyDeleteBtw,kepada anak dari emak yang akrab dipanggil Tante Salsa ini,Happy Birthday yaps~ Makin lancar jodoh,rejeki,pahala,dan BABnya~ kalo seret minum saja Vege**ta~ciaat cayyoo~~
itu ceritanya si 'aku' lagi jadi komentator bola yah kwkwkwk.
DeleteOKEH MAKASIH EAAAPPPSSSSS. PASTI KOK PASTI! AKU PASTIIN LANCAR BAB NYA TANPA MINUM V*E*G*T*A ( '-')9
Tansal!! Otonome eaa! Doa yg baik2 deh pokoknya. TRAKTIIIRR NONTON!!
ReplyDeleteAwalnya agak ga ngerti sama alur cerita ini, tp abis dibaca ulang baru deh 'oh gitu ceritanya'. Keren! Terus apdet di blogmu ya ( '-')/ #elujuga
nb : beliin obat tetes mata taann, mataku sakit abis baca blogmu ini #heh #apasih #abaikan
OKEH MAKASIH TAAAAN~
Deleteiya pokoknya ceritanya begitu. AKU NUNGGU APDETAN BLOGMU JUGA LOH
ahahahaha sama aku juga sakit mata. tapi sekarang engga kok :'>>>>
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete