Fani memeluk guling dan berbaring di tempat tidurnya. Ia
selalu mengingat pertemuannya dengan Rizky. Berkali-kali Ia
menelpon Mei, tetapi tidak diangkat juga. Ia berpikir, kenapa Mei bisa kenal
dengan orang seperti Rizky. Ia seperti bermimipi bisa bertemu dengan Rizky.
Fani adalah wanita
keturunan kolongmerat. Hidupnya penuh dengan kemewahan. Tentu saja Ia berpikir
bahwa Rizky mau dengan orang seperti dirinya. Orang mana yang tidak mau dengan
hartawan?
Ia mengulat diatas kasur
dengan bed cover indahnya. Dirinya selalu tersenyum dengan sendirinya. Ia tak
bisa membiarkan hal ini terpendam. Ia menelpon temannya,
“Andi, bisakah kau
kesini?”
“Jadi, apa yang kau
lakukan pada Daffa? Kau bilang tadi kau bertemu dengannya kan?” Tanya Mei. Mereka sedang berjalan santai.
“Ah… tidak ada apa-apa.”
Jawab Rizky dusta. “Apakah kamu tetap mencintainya?”
Mei menggaruk kepalanya.
“Melupakan orang yang terlanjur kita sayangi adalah hal sulit. Itu tidak
semudah membalikkan telapak tangan.”
“Bagaimana jika, ketika
angin berhenti berhembus, kau akan berhenti mencintainya?”
“Aku… tidak tahu…”
Mereka menuju Restoran sederhana
yang tak jauh dari lapangan. Mereka bertujuan untuk makan siang disana. Dan
Rizky selalu berusaha membuat Mei agar kembali ceria.
“Senpai?”
“Senpai?!”
Daffa mengerjapkan
matanya. Ia baru tersadar dari lamunannya karma Ivan yang terus menyadarkannya
berkali-kali. “Ya… kenapa kau ingin bertemu denganku?”
Ivan menatap lesu. Lagi-lagi Ia
harus mengulang topic yang akan dibirakannya kembali. “Ini tantang Mei.”
“Oh ya ada apa dengan
Mei?” Tanya Daffa santai seolah tak ada yang terjadi.
Angin berhembus seolah
menusuk jantung Ivan. Senior dihadapannya sama sekali tidak terkejut mendengar
pernyataannya. Bola yang sejak tadi dipegangnya terlepas karna Ia sendiri melepas
tenaga nya. Sulit dipercaya, Daffa menjadi orang yang tidak berperasaan.
“Maaf aku sedang
terburu-buru. Kalau ada perlu, hubungi aku saja!” Daffa tersenyum lalu berlalu.
Ivan berdiri mematung menatap kepergian Daffa.
“Fani, aku katakan padamu
sekali lagi ya. Jangan mudah terpesona.” Ujar Andi tegas.
“Aku bukan terpesona! Aku
hanya jatuh cinta!”
“Cukup.” Andi menyerah
dengan curhatan Fani yang selalu saja bercerita semacam ini.
Mereka sedang
bercakap-cakap, tidak lama kemudian interphone kamar Fani menyala. Fani segera
membuka pintu kamarnya, Nissa.
“Akhirnya kau datang. Aku
menunggumu~ mari dengarkan ceritaku.”
“Hmm…. Sesungguhnya, aku
mengenal Rizky itu. Dia adalah teman satu kosan dengan kakakku…” ujar Nissa
dengan malas.
“Dan aku tidak mengenal kakakmu.”
Ucap Fani pendek.
Restoran itu terasa
hening. Tak ada percakapan diantara mereka. Sibuk pada pikiran masing-masing.
Rizky sendiri merasa heran, kenapa Ia menjadi canggung seperti ini. Makanan
yang dipesan Rizky telah habis disantapnya. Ia menunggu Mei yang akan
menyusulnya.
“Hei Mei…. Ada yang ingin kukatakan
padamu…”
Mei mengangkat alsinya,
“Apa?”
“Aku tidak peduli apa
rekasi mu, bisakah kau lupakan Daffa sekarang? Dan berpaling padaku?”
To be continue…
Yo Sal ( ._.)/
ReplyDeleteNah, aku suka sih gaya ceritamu ...
Tapi, agak sedikit bingung sama alurnya (--,)a
Tapi tetep ditunggu lanjutannya dong~
Iya itu terlalu terburu-buru. Padahal part pertama itu bagus (--,)
DeleteIya itu terlalu terburu-buru. Padahal part pertama itu bagus (--,)
ReplyDeleteapa-apaantuh..suruh berpaling =_=
ReplyDeletehebat tan idenya..lanjut~
sip siiip
Delete