Apa kau pernah mendengar sebuah ungkapan, "Rasa
solidaritas yang tinggi bisa didapat ketika kalian bersama dalam sebuah
perjalanan"?
Lalu, apa kau memercayainya?
Mungkin memang benar tidak semua kebersamaan kamu
dapatkan saat itu juga. Atau mungkin, kamu kurang membuka diri, atau merasa
tidak membutuhkan orang lain.
Tapi bagi sebagian orang yang menjunjung tinggi hangatnya
kebersamaan, mereka akan bertindak berani dan gegabah—yang kemudian membuat
sekitarnya menoleh dan membantu, atau pun menghiburnya.
Baiklah, sekali lagi. Apa kau pernah merasakannya?
Ini adalah sebuah cerita pada tanggal 26 bulan Desember
di tahun 2014. Menurut sudut pandang author.
_-#RISAMSI19-_
Di depan sekolah pukul 7 tepat, berikut adalah janjinya.
Pukul tujuh lewat lima
menit, aku bisa melihat empat orang lelaki sedang bercengkrama, di dekat mereka
terparkir tak beraturan empat buah motor. Satu diantara lelaki itu duduk di
salah satu bangku kayu tempat pedagang mengemper.
"Lho, kok, helmnya dua?"
Aku menyengir sekilas, teringat keluhan salah seorang
teman sebelum kami berangkat. "Y-ya ini, temen Salsa mau pinjem helm
nanti." kataku seraya meraih telapak tangan besar pria berdarah Palembang ini. Begitu
kuat, kasar—namun ketika menggenggamnya, akan terasa kelembutan dan
kehangatannya. Orang biasa memanggilnya Ayah, Bapak, dan aku memanggilnya Abi.
Aku segera pamit dan bergegas pergi, tak ingin lagi
ditanya macam-macam. Kuhampiri para pemuda yang kukenali—kemudian mataku
teralih pada seorang gadis dengan setelan hijau toska duduk di salah satu
deretan bangku kayu. Matanya terfokus pada sebuah gadget yang bersemayam
di telapaknya. Aku menepuknya. "Sidney, udah lama?"
"Hah, enggak kok," jawabnya, kemudian
ekspresinya berubah, pupil matanya melebar, "yah, aku lupa bawa
helm..." ekspresinya panik—meski terlihatnya datar.
Aku terdiam sejenak. Dengan ekspresi yang sama, aku
merespon, "Lah, kok gak bawa, dah?"
Kami meminjam salah satu motor ikhwan untuk mengambil
helm dirumah Sidney.
Letaknya tidak jauh. Setidaknya, tidak sampai satu kilometer.
Sidney
menjadi drivernya, sementra aku duduk dibelakang. Acle meminta agar kami
sekalian mampir ke pom bensin untuk memberi asupan pada motor maticnya. Ya,
lelaki itu lah yang pertama kali merespon saat aku menyahut untuk meminjam
motor. Walau dengan syarat, tapi tak apalah.
Seorang lelaki menyelutuk, "Nanti kita masak aja lah
disana,"
Aku membatin. Pasti mayoritas diantara mereka tidak
membawa bekal.
"Kompornya bawa emang?"
"Eh, bilangin Intan suruh bawa kompor."
"Sa, beli indo*mie sekalian,"
Singkat kata, persiapan kami belum mencapai angka tujuh
puluh persen. Tentang setiap motor yang belum terisi bensinnya bahkan setelah
kami berkumpul, tentang kepastian pembawaan kompor dan pengambilan gas kecil
dirumah Adit, salah satu ikhwan bertubuh kurus. Juga tentang jas hujan yang
tertinggal di bagasi motor—setelah motor tersebut sudah membisu manis didalam
rumah yang cukup jauh jika berjalan kaki. Atau tentang pelayan warung yang
salah memasukkan mie rebus menjadi mie goreng—alhasil kami harus kembali untuk
menukarnya.
Aku melirik kearah pergelangan tangan, berniat untuk
melihat jam—dan sadar bahwa aku tak mengenakan arloji. Gusar, "Ini Intan
mana sih dia kagak nyampe-nyampe?!" tak peduli Sidney akan menggubris atau tidak, aku terus
mengeluh. "Saskia juga," lanjutku mendengus.
Menurut informasi yang kuterima dari salah seorang teman
yang akan meminjam helm, Saskia, dia sedang menunggu jemputannya—Azat datang.
Lagi-lagi aku menggerutu dalam hati. Apa yang dilakukan ketua RISAMSI itu, dan
apa yang terjadi disana.
Pukul delapan kurang lima menit, sebuah motor dominasi warna hitam
dengan garis merah di bodynya mulai terlihat dari kejauhan. Helm
bernuansa terang dan Jas abu-abu yang menjadi ciri khasnya, Azat, datang dengan
seorang gadis di jok belakangnya, Intan. Aku mengerutkan dahi, ini tidak sesuai
informasi.
Usai bercengkrama sebentar, Intan menghampiriku dan Sidney, kemudian
mengeluhkan banyak hal. Tidak lama setelah itu, sebuah motor berwarna putih
menepi, Ferdi dan Saskia.
Usai mengatur persiapan seperti; di motor mana tas kompor
akan digantungkan, jas hujan ada di motor siapa saja, atau siapa yang
menggendong dua tas, dan lain sebagainya, barulah kami memutuskan untuk melaju.
Deruman mesin motor melaju mengiris jalan arteri,
berbelok kearah komsen, kemudian mengikuti jalan. Ferdi menjadi pemandunya saat
itu.
Kami menghabiskan waktu di motor dengan mengobrol satu
sama lain. Misal aku dan Acle yang keasikan membincangkan Stand by Me
Doraemon—film yang sedang hits, atau movie terakhir Naruto 'The Last' yang
tidak jadi tayang di bioskop Indonesia karena Jepang cukup marah atas kasus pembajakan film Stand by Me oleh
Indonesia. Atau tentang Live Action Attack on Titan yang sama tidak jadi
tayang di Indonesia
atas kasus yang baru saja terjadi itu. Dan juga tentang mimpi burukku yang
melihat kawanan Gigantosaurus dan T-Rex memburu seekor beruang.
Pembicaraan abstrak itu terpotong oleh sahutan Ferdi.
"Eh, liat deh, ban belakang kempes, gak?"
Saskia berusaha untuk melihat kebawahnya. Mungkin ia ragu
untuk mengatakannya, sehingga Acle langsung menyahut. "Iya, kempes. Eh,
bocor itu Fer. BOCOR!!!"
Aku mengangkat alis. Oh, ayolah, kita bahkan belum
separuh perjalanan.
_-#RISAMSI19-_
Kami yang ditumpangi—aku, Saskia, Intan, Sidney, dan Dhani memutuskan untuk ikut
berjalan kaki menuju bengkel motor. Yang mengendarai motor bertugas untuk
mencari bengkel, kemudian kembali untuk menyampaikan informasi. Satu bengkel
tidak menerima, kami lanjut ke bengkel yang lain.
"Jadi ini Curugnya? Kita udah nyampe di Curug
nih?" celutuk Saskia disertai tawa panjang.
Kami berkumpul kembali di depan sebuah bengkel di pinggir
jalan raya menuju Kranggan—entah apa namanya. Kami asik menertawakan kesialan,
nasib, jalannya, atau takdir yang sedang kami hadapi sekarang.
"Gara-gara Saskia ini. Lo bilang ke orang tua lo
kita naik mobil, kan?"
"Ih gua kalo bilang naik motor, gua gabakal di
bolehin...!" ia membela diri.
Adit menatap jalanan. Ia tidak ikut bersenda gurau kala
itu, hingga seseorang menyelutuk, "Wah Adit juga Adit! Lo bilang ke bapak
lo ke Taman Mini, kan?"
"Mampus lo, Dit, abis ini elu yang kena."
Yang dibully kali ini tertawa kecil. "Ah, kagak
ah,"
"Ini... Ferdi lagi dah yang kena..."
"Waktu kita survey juga, yang ban motornya bocor,
Ferdi, kan?"
"Lah yang waktu ke puncak, Ferdi ditilang bayar tiga
ratus ribu, hahaha..."
Dhani menyahut, "Mending gua tiga ratus ribu buat ke
Bandung dah naik Bis dari pada ke puncak naik motor tiga ratus ribu,
hahaha...!"
Kami semua melirik kearah Ferdi yang tak juga bicara.
Wajahnya menyiratkan penyesalan. Mungkin dalam hatinya ia gelisah. Menyadari
itu, kami menutup mulut—tak lagi mengungkit masa lalu Ferdi yang cukup kelam
itu.
"Enggak, gue gak percaya sama kesialan dan
keberuntungan," sahut Dhani tegas.
"Ini bukan takdir, ini nasib." Acle tak kalah
tegas.
Butuh waktu sembilan menit hingga petugas bengkel
menyelesaikan tugasnya. Untuk pertama kalinya bagi kami, ada tukang tambal ban
yang bisa kerja secepat itu. Biasanya akan memakan waktu setengah jam.
Dan perjalanan baru saja akan dimulai.
_-#RISAMSI19-_
Rutenya seperti ini; Jati
Asih-Kranggan-Cibubur-Depok-Bogor-Puncak. Kami berangkat pukul delapan pagi—ditambah
waktu ban bocor dan sedikit menyasar—waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua
belas.
Motor melaju melintasi jalan lurus yang panjang. Sangat
panjang. Dikenal dengan Jalan Tajur. Jika kau bukan orang kuat, kau akan
mengantuk ketika menyusurinya. Kalau saja tak ada bahan untuk mengobrol, tanpa
sadar matamu akan terpejam.
"Sa, lo tidur?"
Aku berusaha mencerna pertanyaan sang pengemudi.
"Hah? Kagalah," sahutku ringan. Mana mungkin aku tertidur sementara
lelaki di depanku menahan kantuknya agar kami tidak mendapat masalah.
"Ngantuk nih,"
Terbesit juga dibenakku untuk bertukar tempat. Tak
masalah bagiku untuk menyetir motor, asal bergantian. Aku juga tak keberatan
meski harus membonceng laki-laki—asal orang yang dibonceng tahu diri.
Ragu
memang, tapi aku memberanikan diri. "Sebenernya gak apa-apa sih, gua bawa
motor, Cle. Maksud gua, ya gak apa-apa. Lo bisa istirahat sebentar—tapi nanti
lo bawa lagi, ya... gimana, ya. Ya gua bisa sih bawa motor, beneran bisa. Lo
bisa istirahat dulu..." sungguh aku tak mampu merangkai kalimat ketika
tahu, mungkin ucapanku akan menggores harga dirinya sebagai kaum adam. Tapi apa
daya, aku hanya menawarkan.
"Enggak."
Aku menghela nafas. Kami lanjut bersenda gurau. Acle
berlagak seperti orang ketiduran, dan berkali-kali aku memukulnya agar tidak
bercanda.
Hingga kami berbelok memasuki pom bensin di Kota Bogor.
_-#RISAMSI19-_
Kami, para akhwat duduk di bangku tunggu di depan toilet
pom. Sementara Sidney menyelesaikan urusannya dengan Toilet, Acle datang.
Pemuda itu juga berniat menggunakan toilet.
Aku menghampirinya, "Cle, gua udah bilang sama
Sidney. Nanti gua naik motor sama dia aja, lo sama Ojan. Biar lo bisa istirahat
juga,"
"Enggak, sa."
"Lo udah ngantuk ah, ngeri gua."
Dan Acle tetap menolak. Aku menghargai keputusannya,
kemudian duduk dibangku bersama Intan dan Saskia. Status kami masih menunggu Sidney di dalam sana.
"Niatnya mah dateng kesini buat ngaca, eh gaada
kaca." sahut Saskia seraya merapihkan posisi lipatan kerudungya.
Intan tertawa, tanda setuju.
Tak lama, Acle keluar dari toilet. Kami tertawa, "Lah
Sidney yang masuk duluan kenapa Acle yang keluar duluan,"
Tak lama setelah itu, gadis minim ekspresi itu keluar.
Kami kembali ke rombongan.
Untuk memenuhi sholat Jum'at, para lelaki memutuskan
untuk mencari Masjid. Kami melanjutkan perjalanan kearah Kabupaten Bogor,
mencari Masjid yang satu arah.
Perjalanan kami terjeda di sebuah Masjid yang lumayan
besar di kawasan itu. Masjid Baiturrahman. Sayang sekali Path ku
terhapus ketika ponsel ini di format. Tidak seperti Intan dan Dhani, sejak tadi
aku tidak update di Path.
Kami para akhwat menunggu enam orang ikhwan melaksanakan
kewajiban sekaligus kebutuhannya. Mengisi waktu dengan mengganjal perut, kami
sibuk dengan gadget masing-masing. Bagaimana tidak, kami semua cukup
lelah untuk lanjut tertawa.
_-#RISAMSI19-_
"Intan...!!!"
Teriakan Dhani dari luar masjid menembus indra
pendengaran kami. Yang dipanggil hanya menjawab seadanya. Kami baru saja
selesai sholat zuhur.
"Cepetan, perjalanan kita masih sejam lagi...!"
Pukul 1 tepat, dan kami masih berstatus musafir.
_-#RISAMSI19-_
"Gua suka, deh, cuaca ini," sahut Acle memecah
hening.
Aku menengadah, "Ini? Panas, ah." jawabku
santai. Memang panas di Ciawi tidak se-panas di Bekasi.
"Ini emang panas, tapi adem. Gua suka."
Aku mengangguk. "Bagi gua, panas ini sama kayak
panas di Bekasi jam dua atau tigaan."
Wajar, karena kami terjebak macet. Setiap motor berlomba,
menyalip dua baris mobil dalam satu arah. Jalanan menanjak yang diisi kemacetan
ini cukup membuat semua orang terpaksa melek. Salah sedikit saja—seperti tidak
menahan rem, akan merugikan orang lain.
Kami berbelok, mulai memasuki kawasan Puncak. Aku, Acle,
Ferdi, Saskia, Ojan, dan Sidney menepi, menunggu
kawanan lain yang masih terjebak macet diluar sana. Tidak lama setelah itu, Azat dan Intan
datang. Kami masih harus menunggu Adit dan Dhani.
"Oiya, itu kan
nanjak, ya. Emang motornya Adit kuat?"
Ah, aku lupa. Di bendungan ketika kami baru saja memasuki
Bogor, ada hal
terjadi. Tempat itu dikenal dengan Garis Katulampa, atau Bendungan Katulampa.
Jalanan menanjak—hampir sembilan puluh derajat harus kami lewati. Ferdi lah
yang pertama menanjak. Dengan kemampuan motor mio dan berat badan Saskia—dengan
lugunya Ferdi mengerem—lalu menoleh ke belakang. Berniat menunjukkan pada
Saskia pemandangan diatas bendungan itu.
"Woy, woy, woy, Fer!! Jangan berenti!!!" Ojan
yang mengemudi di belakangnya shock. Sidney,
penumpangnya segera turun agar motor bisa menanjak tanpa beban.
Acle yang berada di belakang Ojan juga kena imbasnya. Aku
terpaksa turun, lalu mendorong motor Acle, memaksanya naik keatas.
Aku menoleh ke belakang, kearah Dhani dan Adit yang sejak
awal memang sudah berniat untuk mendorong motor. Ketika di bengkel motor, Dhani
menginformasikan berat badannya mencapai angka delapan puluhan.
Tidak se-damai Intan dan Azat. Gadis itu duduk tenang di
jok belakang sementara Azat memperjuangkan motornya untuk tetap kuat naik
keatas. "Zat, kuat, ga? Gua perlu turun, ga?" sempat-sempatnya nanya.
"Enggak. Eh, turun aja," sahut Azat, "eh,
gausah, deh,"
Kami para penumpang—kecuali Intan menanjak dengan kaki.
Beat merah milik Ojan mengambek. Mesinnya tidak mau menyala meski majikannya
sudah berusaha.
Kami menunggu dibalik
tikungan. Berharap cemas agar motor Ojan baik-baik saja.
Tidak lama, Ojan dan Sidney muncul dari balik tikungan dengan beat
merah yang terlihat sehat. Dan kami melanjutkan perjalanan.
_-#RISAMSI19-_
Saskia membentangkan tangannya lebar, "Ih gila Fer
ini adem banget, sumpah ini sejuk banget, sumpah seger banget, Fer,"
Gerakan itu selalu diulanginya ketika melewati jalan yang
mengasupkan udara segar. Tidak peduli akan mengganggu pengendara motor lain,
Saskia akan terus melakukannya.
Kami menyusuri jalan berliku, menanjak dan memutar.
Saling menunggu jika pemandu jalan sudah berbelok. Berbincang sambil menunjuk
objek-objek yang jarang. Tertawa ketika melihat hal yang dianggap lucu.
Hingga kami melihat sebuah gapura bertulis 'CURUG
PANJANG' dan beberapa motor mengantri di depan pos. Seorang petugas menunjuk
kearah jejeran motor, meminta kami membariskan motor disana.
Kami melepas peluh. Membuka helm, mengeluarkan dompet,
membayar tiket masuk tempat wisata. Mengabaikan pertengkaran kecil diantara
Adit dan Ferdi, kami menaiki trek batu, menanjak kearah suara sumber air.
Tidak seperti Cilember, Curug Panjang memiliki wadah yang
luas. Derasnya arus air terjun menggantikan suara kami. Beberapa orang dan
keluarga asik bermain air, menyiprati satu sama lain. Beberapa diantara mereka
ada yang mengarahkan gadget dan dijepit oleh sebuah tongkat besi—atau
lebih dikenal dengan tongsis.
Kami menuruni tangga, mencari lapak untuk meletakkan
barang-barang. Para Ikhwan meminta agar kami—akhwat memasakkan mie sementara mereka bersenang-senang. Cukup
tidak adil.
Tak ada peraturan, tak ada tata tertib. Mereka mengacau.
Rusuh. Tidak mau kalah. Sepanci—ya, tak ada mangkuk, mie kuah itu kami taruh di
panci—se-panci mie ludes telak dalam waktu singkat. Kami melanjutkan ronde dua.
Saat itu pula Saskia dan Sidney
meninggalkanku, Intan, dan Azat yang tidak ikut berenang dengan alasan tak bawa
baju ganti. Aku tak mengerti. Sudah jelas kami akan ke Curug.
"Gua mah dateng kesini buat mengayomi anak-anak aja,
dah."
Saskia memanggilnya dengan sebutan 'papah'.
Kami ber-sembilan—Aku, Intan, Saskia, Sidney, Adit, Ojan, Dhani, Ferdi, dan Acle
berpose di depan kamera. Beralih gadget dari milik Dhani ke milik Sidney dilengkapi tongsis
milik Intan, kami mengabadikan momen.
Kau tahu apa yang akan kau lakukan jika bertemu air.
Seperti cari perhatian dengan berlagak berani bertahan ditengah arus deras,
atau berwaspada agar gadget tidak meleset dari jepitan tongsis, atau
tidak berhenti nyengir di depan kamera, atau berenang dan berteriak ketika kau
hampir tenggelam.
Tetes demi tetes tumpah. Kami menengadah ke langit kelabu
siang itu. Tidak terlalu berpengaruh, tapi kami tahu bahwa hujan telah turun.
"Woy, ujan, ujan!!!"
Aku tidak mengerti. Memangnya kenapa kalau hujan? Toh
kita juga sudah dibasahi oleh air.
Setiap orang naik keatas batu, berlari kecil ke tempat
dimana mereka memangkal.
"Barang-barangnya! Cepet selamatin barang-barang
kita!"
Aku terksiap. Oh, ya, kami punya hal-hal yang harus
diselamatkan. Segera diriku menepi, menaiki batu besar—walau sekali terpeleset,
lalu bergegas menuju kawanan berada. Beberapa diantara mereka sudah meneduh
dibawah pohon besar. Aku menghampiri Ferdi yang masih sibuk mengepak
barang-barang meski gerimis sudah berganti menjadi hujan deras. Kutatap sebuah
ponsel berwarna hitam putih terbaring indah diguyur derasanya peluru air.
"Fer, Fer, itu hapenya sini!"
Ferdi tertawa kecil. "Hape siapa ini, hahaha,"
Aku meraihnya. "Punya Intan ini," jawabku
berbalik, lalu bergegas menyusul mereka. Kusodorkan benda itu, dan langsung
digenggam erat oleh pemiliknya. Dhani meledeki, takut-takut ponsel itu tak bisa
diaktifkan lagi.
"Wih, hape lu kuat, Tan, hahaha...!"
Tak ada yang perlu di khawatirkan. Ojan meminjam payung
ke seorang pedagang baso Cuanki yang juga meneduh bersama kami—untuk
mengantarkan kami ke atas, tempat dimana warung yang akan menjadi base
kami berikutnya.
_-#RISAMSI19-_
Adit lebih dulu mandi dan berganti pakaian. Sembari
menunggu hujan reda, kami mengabadikan momen lagi. Bercengkrama, tertawa
bersama, membully, kami isi waktu dengan hal-hal seperti itu. Mungkin kami tak
akan merasakannya lagi suatu hari nanti. Perasaan ketika kesal karena
perkataannya tak digubris, atau tertawa renyah karena tidak mengerti arah
pembicaraan.
Hujan reda kala itu. Kami—aku, Saskia, Sidney, Intan, Ojan, dan Acle turun—melanjutkan
kesenangan kami yang tertunda. Arus air dibawah air terjun telah berubah warna.
Kami mengeluh ketika kejernihan air tidak sesuai yang di
harapkan. Lalu, siapa peduli? Kami tetap masuk ke dalam air dan saling
menyiprati. Hanya kami disana. Kamilah pemilik Curug Panjang kala itu.
Ferdi datang membawa panci. Katanya, benda itu digunakan
untuk mengambil air. Mereka mengatakan untuk melanjutkan masak ronde ketiga.
"Pinjem, dong, Fer, pancinya." pinta Sidney datar.
"Ah, jangan, lagi ngumpulin air ujan,"
"Ih bentar mau liat airnya,"
Dengan berat hati, Ferdi menyerahkannya. Sidney mengisi panci dengan air, lalu
memperlihatkan pada kami isinya. Beberapa butiran cokelat lah yg mengontaminasi
warna air.
Kami hanya duduk dipinggir, diatas batu besar ketika arus
mulai deras dan menimbulkan suara gemuruh kencang. Terkecuali Acle. Lelaki itu
masih asik berbaring diatas batu-batu. Mungkin hantaman arus air membuat
dirinya nyaman berada disana.
Hawa dingin menusuk pori-pori kulit. Aku bergetar. Menatap
lurus kearah kulit telapak tangan yang sudah berkerut, kami menjadikan objek
itu sebagai bahan candaan. Sidney
lah yang lebih keriput. Diam-diam gadis itu sangat kedinginan.
"Mana dingin? Gak begitu dingin, ah." sahut
Saskia. Dasar anak gunung.
Gemercik hujan digantikan oleh peluru air. Kami bergegas
dan kembali keatas. Menapaki tangga batu yang menghantarkan kami ke warung
tempat kawanan berada. Kemudian satu-persatu diantara kami bergantian untuk
sholat Ashar dan mandi.
Aku dan Intan turun ke toilet umum untuk berganti sambil
mencari sebuah gagangan panci ditempat awal kami menetap. Mencari dibawah pohon
besar tempat kami meneduh. Jika hilang, Intan akan mendapat masalah besar.
Selesai, kami kembali keatas, mendapati Saskia lebih
beruntung karena berganti baju dirumah pemilik warung. Ah, tau begitu, kami tak
perlu repot-repot ke bawah.
Sekalian numpang sholat dan segala macam, waktu sudah
menunjukkan pukul setengah enam. Kami bersiap untuk pulang. Masing-masing dari
kami sibuk memakai jas hujan, atau menawarkannya.
"Sa, pake jas ujan, Sa." tawar Acle menyodorkan
sebuah jas berwarna biru dongker.
Sejak kecil, aku membenci jas hujan. "Enggak, ah, lo
aja." jawabku menggeleng. Bagiku, lebih baik basah kuyub daripada
gerakanku dibatasi oleh pekatnya jas hujan.
"Dingin, Sa, entar lo sakit,"
Aku masih membantah. Mungkin Acle lelah, sehingga ia
melingkarkan benda tersebut di punggungku, lalu memasangkan tudungnya di
kepalaku. Karena sudah dipakaikan, tak enak hati juga jika kulepaskan.
"Nah ini baru cowok!" sahut Intan menunjuk Acle
diselingi tawanya. "Jas ujan tuh langsung dipakein, bukan cuma disodorin
doang...!"
"Acle hari ini cowok banget,"
"Antara modus sama..."
"Kenapa, sih?!" yang diledeki angkat bicara.
"Gua berbuat baik dikit udah diomong-omongin."
Kami turun dari Curug Panjang. Menapaki batu-batu,
melintasi aliran air terjun, menuruni trek datar, berpegangan kalau-kalau ada
yang terpeleset—hingga sampai di tempat dimana kami memarkir motor.
"Ayo kita ngebut, ya, soalnya kabut udah
turun," ujar Dhani memperingatkan.
Aku merapatkan jas, lalu mengenakan masker. Baru saja
Acle akan memakaikan helm di kepalaku, tanganku langsung menepisnya,
"Udah, udah, gua bisa, kok."
Kau benar. Antara cowok banget atau apa, Acle cukup baik
di waktu itu.
Kami melaju, menuruni jalanan berliku. Sunyi.
Masing-masing dari kami berharap agar baik-baik saja. Berharap agar kami bisa
mendahului kabut, atau tidak terjadi hal-hal mengerikan ditengah jalan licin.
Kami melihat lagi, Saskia membentangkan tangannya lebar.
Biarlah, mungkin dia sangat menyukai udara di pegunungan.
Merasa pegal karena tidak terbiasa dengan jas hujan, aku
menggeser posisi duduk. Seharusnya hal itu tidak terlalu mencolok, tapi Acle
menanyakannya. "Lo kenapa, Sa?"
"Hah? Kaga,"
"Itu tadi kenapa?"
"Oh, kaga kok." kataku singkat. "Kok lo
tau, sih? Perasaan tadi gua gerak gak gerak-gerak banget, dah,"
"Tau lah, Sa. Gua kan—“
Suaranya dibawa angin dan gemuruh langit. Aku memajukan
kepala, "Apa?"
"Gua kan
Ninja, Sa."
Aku menatap jalanan sepi. Ingin merespon, tapi apa daya.
Teringat ucapannya yang bersikeras mengatakan, "Tapi Itachi itu pahlawan
yang sebenernya!!" tegasnya pagi tadi.
Aku membuka mulut, "Udah, Cle, sekarang ini lo
harus fokus ke jalanan. Gaada Ninja-Ninjaan, fokus."
Kami melanjutkan perjalanan, menuruni jalan berliku. Hari
sudah gelap kala itu. Masing-masing dari kami pasti menikmati pemandangan di
gunung. Aku menoleh ke kanan, "Cle! Liat, dah! Indah banget!!!"
Kau tidak akan melupakan hal yang kau lihat jika menuruni
gunung di malam hari. Sebab rumah-rumah warga di gunung memberi hal yang
menakjubkan. Normalnya, orang-orang akan menyalakan lampu di malam hari. Dan
susunan rumah warga yang tak beraturan—mengikuti dataran gunung—kau akan
melihat jajaran lampu bertingkat disana. Kau tidak melihat rumah mereka. Kau
melihat lampu-lampu yang mewakili rumah-rumah mereka. Kau akan lelah jika
menghitungnya.
Satu hal yang perlu kau lakukan hanyalah, menikmati
pemandangan itu. View yang hanya bisa kau lihat ketika di Gunung.
_-#RISAMSI19-_
Kami sudah menuruni gunung dan sudah di jalan raya.
Menepi di sebuah masjid yang tidak bisa disebut besar, untuk melaksanakan
sholat maghrib disana.
Dhani membuka jaket berwarna oren yang dibanggakannya,
memperlihatkan kaos basah yang dikenakannya. Intan mengomelinya seperti
emak-emak. Sejak awal, Dhani ngeyel. Lelaki itu tak ingin mengenakan jas hujan
karena percaya jaket itu akan melindunginya dari dinginnya cekaman peluru air.
Dengan modal meminjam baju dan training milik Acle,
Dhani mengganti pakaiannya. Menjamak sholat maghrib dan isya, lalu kami lanjut
perjalanan.
Motor-motor melaju, mengiris jalan arteri, berbelok untuk
saling menyalip, menahan rapatan jas hujan agar tidak terbang dihembus angin,
berlomba-lomba dalam mengejar waktu.
Menurut cerita Intan, inilah awalnya. Azat tiba-tiba
bersuara. "Tan, cek, dah. Di tas gua ada baju ga,"
"Apa? Basah? Hah?" tanyanya ketus. Sejak awal
gadis itu memang sudah memperingatkan agar Azat menggunakan jas hujan. Tapi
pemuda itu keras kepala. Kau tahu jaket tak akan menyelamatkanmu dari kejamnya
air.
Dan menepilah kami di pinggir jalan raya. Di depan sebuah
rumah kecil dengan mobil bak terparkir di garasi tanpa pagar, Azat melepas
jaketnya. Mengeluarkan sebuah kaos dari dalam bajunya.
"Jangan bilang lo mau ganti disini?!"
"Ngeyel, sih, kalo dibilang."
"Jangan bilang kita masih di Bogor," kataku seraya celingukan,
mencari papan yang mungkin saya menyertakan alamat jalannya.
Acle menunjuk kearah plang berwarna putih disebrang
jalan. "Tuh, liat aja,"
Aku menghela nafas. Bogor
benar-benar luas. Bahkan setelah lama kami diguyur gerimis, jalanan ini masih
di Bogor.
Azat melepas kaosnya—tanpa sadar si pemilik rumah keluar.
Pria berkumis tebal menatap Azat, lalu sesekali memalingkan pandangan. Yang
berganti baju acuh. Ia tak menoleh ke belakang sama sekali. Entah tidak sadar
atau apa, kedua alisnya masih bertaut bahkan ketika mengenakan jas hujan dari
Intan. Sebagai gantinya, Intan memakai jaket Azat yang katanya tahan air itu.
"Yah, bukannya dari tadi kek lo, Jat."
"Ini mah gua udah nyampe komsen harusnya. Kalo jalan
terus, gua udah di Bekasi, nih."
Dan Kami melanjutkan perjalanan.
Masalah tetap masalah. Kami kehilangan jejak Ferdi dan
Adit. Menepi lagi di jalan raya, kami saling bertukar informasi. Berusaha
menghubungi Saskia atau pun Dhani.
Menurut
cerita Saskia, ini lah yang terjadi. Sama halnya dengan Dhani dan Azat. Ferdi
basah kuyub. Mereka memutuskan untuk menepi di pinggir trotoar dan berganti
pakaian. Dengan berat hati, Ferdi menurutinya. Ia akhirnya sembunyi dibalik
gapura hotel—yang menyediakan semak-semak sebagai pelengkapnya. Tidak peduli
tatapan orang-orang yang melintas, Ferdi menanggalkan bajunya.
Niatnya Saskia ingin membelikan Ferdi sebuah jas hujan. Berhubung
harganya mahal, mereka lanjut melaju.
Hingga akhirnya Allah mempertemukan kami kembali. Sedikit
menyalahkan, kami melanjutkan perjalanan. Menembus kobaran angin, menusuk
rintikan hujan yang cukup menghalangi pandangan.
_-#RISAMSI19-_
Kami masih berada di Depok ketika waktu sudah menunjukkan
pukul sembilan malam. Masing-masing dari kami berusaha menghubungi orang tua.
Ya, kami menepi di pom bensin untuk mengisi bensin motor Intan. Mio boros.
Merasa hujan sudah reda, aku memutuskan untuk melepas jas
hujan.
"Cle, lo ada baju lagi, gak?" tanya Intan
dengan raut wajah memelas.
Oh, iya. Dibalik jaket abu-abu itu pasti tak ada lagi
warna terang yang tersisa. Mengalihkan pandangan kearah Azat, berharap lelaki
yang satu motor dengan Intan itu akan angkat bicara, atau sekedar membantu
Intan mencari pakaian gantinya.
"Baju koko Acle itu aja,"
Intan mengenakan baju muslim milik Acle sebagai gantinya.
Ferdi memiliki masalah yang sama. Ia melepas baju lagi untuk kedua kalinya, dan
menggantinya dengan sweater milik Saskia.
Tukang gorengan di dekat kami memukul-mukul wajannya.
Inisiatif, Dhani menawarkan untuk mencoba beberapa gorengan. Membeli, lalu
membagikannya pada kami.
Acle sibuk mengeluh, mencari kunci rumahnya yang hilang
ditelan tas. Para lelaki sudah menenanginya
dengan mengatakan, "Udah, Cle. Entar dulu, ntar pas di rumah Intan aja
nyarinya. Sekarang kita lanjut jalan dulu. Udah malem ini..."
Suasana hati Acle tidak bagus kala itu.
_-#RISAMSI19-_
Sunyi senyap. Kami menyusuri jalan satu arah yang cukup
sepi. Disisi kanannya berupa deretan dinding, dan sisi kirinya tanah kosong
dengan beberapa rumah warga.
Aku menengadahkan tangan, membiarkan sisa rintik-rintik
hujan membasahi telapak. Sejak dulu aku membenci hujan. Langit yang menurunkan
penderitaan itu, tak ada yang spesial dari hujan. Mereka datang untuk membuatmu
naik darah.
Tapi kali ini lain. Entah karena hari ini sangat spesial
atau aku sangat bahagia, atau kulitku yang sudah mati rasa, atau karena hal
lain, aku merasakan sesuatu yang baru.
Tak ada gugusan bintang berhamparan di langit malam itu.
Tak ada pemandangan indah kala itu. Untuk pertama kalinya, aku merasakan
hangatnya hujan. Entah karena dinding diantara kelima motor ini yang saling
menghangatkan, atau karena aku sedang berada diantara mereka.
Aku tidak pernah tahu bahwa hujan akan sehangat ini.
Ketika kau merubah sudut pandangmu, semuanya akan
berubah.
_-#RISAMSI19-_
Acle memacu mesin motornya. Mengeber gasnya. Bermain
dengan Ferdi di sebelahnya. Ingin mendahului Ferdi, tapi tak tahu jalan. Ingin
dibelakang, tapi Ferdi menjaga kecepatannya.
Merasa risih, Saskia mengomel. "Kalo mau maju ya
maju, mundur ya, mundur!"
Nihil. Acle masih ingin bermain. Berapa kali pun
dibilang, lelaki itu mungkin sedang menenangkan dirinya dengan kebutan.
_-#RISAMSI19-_
Kami sudah di Kranggan. Merasa sudah tahu jalan, Acle
mendahului Ferdi sebagai pemandu jalan. Melesat cepat ditengah jalanan sepi.
Aku mencengkram pelan pundaknya ketika si pengemudi menyalip diantara motor dan
mobil. Menikmati kencangnya hembusan angin malam, aku memejamkan mata.
Hingga kami sudah berada di daerah komsen. Berbelok dan
mengikuti jalan. Tiba di depan pasar rebo, Acle banting stir ke kiri tanpa rem.
"Gak jadi kerumah Intan?"
"Lo mau kesana?" Acle balik bertanya.
Aku mengalihkan wajah. "Te-terserah elo,
sih..."
Acle semakin memacu mesin motornya. Melaju cepat
menyalipi jenis-jenis kendaraan. Aku memajukan wajah lagi, "Nyari
kuncinya?"
Dan pertanyaanku tidak digubris. Aku menoleh ke belakang.
Mengikhlaskan makanan-makanan yang seharusnya akan disajikan Intan jika kita
kerumahnya. Tapi, ya, apa boleh buat. Pulang lebih larut dari jam ini, aku
mungkin tak akan bisa lagi pulang ke rumah.
_-#RISAMSI19-_
Acle menepi di pinggir jalan yang tidak terlalu sepi.
Melepas jas hujan dan melipatnya. Aku berinisiatif untuk membuka tas nya dari
depan, membantunya mencari kunci rumah.
"Mana?
Ga ada kan,
Sa."
"Belom." sahutku.
Baru saja aku membuka isi utama tasnya, meraih sebuah
kain—yang tentu saja kucurigai. "Tuh, Cle, lu buka disini aja. Gua agak
gimana gitu," ujarku menyodorkan tasnya. Malam itu temaram, sulit bagiku
untuk mengenali isi tasnya.
"Kenapa? Gaada apa-apa,"
Aku diam sejenak. Teringatnya, pakaian basah Acle
disimpan di bagasi motor. Aku mulai berani membuka tasnya, dan merogoh isinya.
Meraba setiap benda yang berada di dalamnya, dan menyentuh sesuatu yang cukup
keras. Kudekatkan wajahku ke dalam tas, membuat akses agar bisa melihat apa
yang kupegang.
Awalnya aku ragu. Tapi kemudian, wajahku berubah datar.
Kukeluarkan benda yang digantung oleh tali itu, lalu menyodorkan ke pemiliknya.
"Terimakasih atas segalanya ya, Cle."
Lelaki itu menatap benda yang kuberikan. Ekspresinya
berubah didukung bibirnya yang menyungging lebar, "Kok ada sih, Sa?"
"Ya, tangan gua emang bisa begitu—“ kataku
mengangkat alis.
"Tapi—“
Aku beranjak.
"Thanks, ya, Sa. Hati-hati!"
"Yayaya, sama-sama," jawabku berbalik. "Lo
juga hati-hati,"
Harusnya aku yang bilang begitu.
Kemudian aku berjalan memasuki gang. Menghembuskan nafas
ringan, lalu berjalan cepat.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, aku selalu
menyiapkan hadiah untuk diriku sendiri. Tapi tahun ini, aku tidak
menyiapkannya.
Terimakasih, atas kebersamaannya.
_-#RISAMSI19-_
Aku memang berniat untuk menulis
cerita ini, bahkan sebelum Fatma memintanya.
"Dilahirkan
oleh sebuah kegiatan. Dikembangkan oleh hangatnya kebersamaan. Dimekarkan oleh
indahnya cinta dan perjalanan."
#RISAMSI19
Nice posting as always, Sal!
ReplyDeleteTapi request dong, lagu di blog diganti nasyid aja biar seiring sejalan gitu :3
Ana uhibbuka fillah, ukhti!
Salam, #BlogHunter.
Aku ngapus semuanya, kebanyakan gadget berasa nyampah bang wkwk
Deletethx banggggzzzz
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteJadi kangenn :')
ReplyDelete