Kuikat erat lilitan kain putih
pada lutut kanan. Sambil melirih pelan, aku meluruskan kedua kaki dan meraih
selembar tisu yang tergeletak diatas lantai. Kukibas sedikit, lalu mengusapnya
ke dahi. Menyeka sisa cairan merah yang membekas di dahi sebab benturan pada
sebuah tiang listrik tadi.
Tak ada hentinya istighfar
dalam hatiku. Sambil menahan
rasa sakitnya, aku menghembuskan nafas berat. Memohon keselamatan pada Illah
yang telah memberiku hidup dan berbagai cobaan di dalamnya.
Aku memasukkan kembali sebuah
kotak putih berlambang plus merah kedalam ransel, lalu menutupnya. Segera aku beranjak
dari ruang kecil tersebut dan pergi. Meninggalkan tempat peristirahatan
sementara sebagai musafir.
”Semua manusia memiliki orang yang
dicintai dan dibenci. Tapi untukmu, jika ada berkumpul lah dengan orang-orang
yang bertakwa.” –Imam Syafi’i
Tiga pria bertubuh besar
melintas di hadapanku. Salah satu diantaranya melirikku sinis, mengisyaratkan
bahwa aku adalah orang berikutnya.
Aku mengangkat bahu dan
berbelok di tikungan. Langkahku
terhenti ketika pandanganku tertuju pada seorang lelaki tua terkapar di pinggir
jalan. Refleks aku beristighfar
pelan, dan berlari kecil menghampirinya.
Tubuhnya dipenuhi oleh luka,
beserta darah yang mengalir di sudut bibir kirinya. Salah satu matanya bengkak dan pipi kirinya biru.
Sebuah karung di belakangnya terkoyak lusuh. Tersisa sekeping koin yang masih digenggam
erat olehnya. ”Tolong...”
Aku segera meletakkan ransel,
dan mengeluarkan kotak berwarna putih, P3K. “Astagfirullahaladzim...
sungguh Allah akan menolongmu. Tunggu sebentar,” kataku pelan. Kukeluarkan
semua isi ransel, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyeka.
Berusaha tenang, aku membuka
kotak putih tersebut, mengeluarkan sebotol obat merah yang langsung kuletakkan
diatas tanah. Tidak menemukan perban, kapas, kain atau tisu, segera kubuka
kembali lilitan kain putih pada lututku, dan mengguntingnya. Kubuang bagian
kotornya, dan menggunakan sisanya untuk mengelap mulut si pak tua. Usai
melafadzkan Basmallah, aku mulai merawatnya. Selalu kusebut nama Rabb
pencipta alam di setiap gerakanku.
‘BUK!’
Aku memekik, refleks
memegang punggungku. Seorang pria
baru saja menendangku.
Seorang pria bertubuh
besar dengan kaus dalam berwarna putih melempar puntung rokoknya kearahku, “Ini
manusia busuk yang tadi!”
“Dia mau sok baik
pakai nolong pengemis segala, ya?” kata seorang lelaki dengan tubuh kerempeng,
sambil sesekali meneguk air dalam wadah botol kaca berwarna hitam. Langkahnya
gontai.
Seorang pria berambut lurus
panjang se-leher berjongkok, menjambak rambutku—memaksaku untuk menatapnya.
Aku meringis. Jelas
sekali bekas luka goresan di wajahnya beserta tindikan di lubang hidungnya.
”Apa yang kalian inginkan?” tanyaku, berusaha melepas diri.
”Langsung saja,” sahut
si pria berambut lurus seraya membuang ludah, tepat di wajahku. ”Aku
membencimu.”
Ia segera melepas cengkramannya
pada rambutku, lalu berdiri. ”Apanya yang damai? Apanya yang mencintai sesama
manusia? Omong kosong! Ajaranmu tidak akan diterima, pecundang.” katanya.
Kemudian ia menghela nafas, ”Kami sudah lama hidup dalam kebohongan.”
Si lelaki bertubuh
kerempeng tertawa. Dengan tangan kurusnya, ia menunjuk pak tua yang terbaring
di belakangku. ”Lihat pengemis yang kau coba tolong barusan! Kau pikir dia
bahagia? Dia menderita! Kalau
Tuhan benar adanya, seharusnya dia bisa minum bir seperti kami!”
”Berarti...” aku langsung
menyela. ”Kalau kalian bisa minum bir seperti itu, berarti Tuhan itu ada,
kan...?”
’DUAK!’
”Akh!” kali ini aku memekik
keras. Tinju yang di berikan si pria besar menghias wajahku dengan darah.
Segera kuusap.
”Masih ada yang ingin kau
katakan?” tanya pria itu.
Satu hal yang kumengerti
adalah, Dakwah bukanlah sesuatu yang mudah.
Aku menghembuskan nafas berat.
Sembari menahan rasa sakit, aku membuka mulut, ”Dalam surah Al-Mai’dah,
ayat 90 dan 91... Allah berfirman...” berusaha beranjak, aku menatap mereka
bertiga.
”Apa-apaan itu?” tanya si
kerempeng mendekatkan wajahnya, ”langsung saja!”
”Meminum khamr adalah perbuatan
keji dan itu perbuatan syaithon!” seruku, refleks melangkah mundur.
”HAHAHA...!” lelaki itu tertawa keras, ”lihat, bang, apa
yang di katakannya barusan. Katanya, kita ini Setan.”
”Khamr itu bir, maksudnya?”
tanya si pria berambut lurus seraya mengangkat alis. Ia menghampiriku dan
berkata, ”Memangnya kenapa kalau kami setan? Dunia ini busuk, tahu. Malaikat
hidup diatas langit. Yang berada dibawah langit adalah setan dan iblis. Itulah
kenyataannya.” katanya tenang.
Aku baru saja akan membalas
ucapannya ketika sebuah botol kaca melayang tepat ke dahiku, membentur luka
yang baru saja kuobati saat di ruang kosong tadi. ”Astagfirullah! Ya Allah, ini
sakit...” lirihku langsung.
”Mintalah pada langit untuk
menyembuhkanmu!”
”Tunggu,” seru sebuah suara berat.
Aku refleks menoleh.
”Sepertinya kalian sedang
bersenang-senang,”
”Yang di maksud dengan teguh hati adalah
memegang dengan sungguh-sungguh apa yang dibutuhkan olehmu, dan membuang yang
selain itu.” –Aktsaam bin Shaifi
Besarnya dua kali lipat dari
tubuh orang-orang biasa. Mungkin seukuran atlit petinju. Wajahnya lebih garang
dari pada preman-preman pada umumnya. Tapi sepertinya, aura orang itu lebih
hangat dari kebanyakan orang di sekitarnya.
”Joe! Akhirnya kau datang!”
sahut lelaki kerempeng seraya tertawa girang. ”Ini, orang yang meracuni istrimu
dengan perkataannya!”
Pria yang dipanggil Joe itu
melangkah ringan, datang kearahku.
Aku menelan ludah. Dalam hati,
berkali-kali aku memohon keselamatan kepada Allah SWT. Kulirik pak tua yang
masih terkapar di belakangku, sudah tak sadarkan diri.
Pria tersebut langsung
mencengkram kerah baju koko-ku, dan mengangkatku tinggi.
”A-apa—” ucapanku terhenti
ketika melihat kedua bola matanya.
Kosong.
Ia langsung menghempaskan
tubuhku ke tengah jalan. Aku meringis ketika telapak tangan dan betis kananku
menyeret aspal. Rasanya seperti dikikis perlahan. Perih, juga panas.
Berbayang. Mataku
berkunang-kunang melihat sekeliling. Tak seorangpun datang untuk menolong kami. Kulihat dua orang wanita di ujung gang, hanya bisa
mengintipku dari balik pohon. Sisanya, membuang muka. Menutup mata atas apa yang sedang terjadi.
Aku beristighfar.
Pria itu menghanpiriku lagi.
”Bangun,” katanya.
Aku berusaha untuk bangkit. Namun, tubuhku menolak untuk menuruti
keinginan. Seolah menunjukkan
padaku bahwa ia juga sudah sampai batasnya.
”Aku tertarik mendengarmu
lagi.” ujarnya. ”Dimana rumahmu?”
Aku terhenyak. Segera
kudongakkan kepala, melihat wajahnya yang sedang menunduk menatapku. Yang pertama kali kusadari adalah, aku
salah. Mata itu... hitam
bersinar. Ia tak hampa seperti sebelumnya. ”Ko-kota sebelah...” kataku gugup.
”Aku sedang dalam perjalanan...”
Pria itu berbalik, ”Pastikan
kau menghidangkan jamuan untukku dan keluargaku.” ucapnya, lalu melangkah.
Aku tertegun. Ketiga preman
itu langsung berlari mengikutinya ketika pria tersebut beranjak dari tempat
kejadian ini. Aku menatap punggugnnya yang berlalu. Kemudian mengulas senyum
tipis.
Mungkin, aku akan pulang ke
rumah...
”Sifat rendah hati yaitu taat dalam
mengerjakan kebenaran dan menerima kebenaran itu yang datangnya dari siapapun.”
–Fudlail bin Iyadl
No comments:
Post a Comment