“Kau lihat kampanye tadi? Itu sangat
mengganggu.”
“Benar juga. Kelompokmu akan turun
dalam kasus ini.”
Sore itu, Zalfa sudah bersiap-siap
untuk menghadiri acaranya bersama Gubernur Daffa di Kotanya. Ia telah
mencalonkan dirinya menjadi Gubernur untuk menggantikan Daffa. Mereka berdua
bersama para pejabat lain berencana untuk berdiskusi satu sama lain dalam
sebuah acara makan malam yang mewah yang diadakan di hotel berbintang lima .
“Jadi bagaimana, Bos?” Tanya seorang
lelaki yang berdiri dihadapan wanita berkostum serba hitam yang duduk diatas
sofa empuknya.
“Kita akan mulai setelah mereka
pulang.” Jawab wanita yang dipanggil ‘Bos’ itu berpangku tangan.
“Baiklah. Nuka sudah menyelidikinya.
Ia akan pulang sekitar jam 9 malam. Di mobilnya, Ia akan duduk ditengah
diantara dua bodyguardnya. Izul akan
duduk disebelah kanannya dan seorang bodyguard ‘asli’ miliknya akan duduk
disebelah kirinya. Dua kursi didepan hanya terisi satu oleh supirnya. Mereka
akan melintas pada jalan raya besar disebelah Utara. Mereka akan mengambil
jalan memutar.” Jelas lelaki yang bernama Rafael itu panjang lebar.
Yang dipanggil Boss berdeham,
“Bagaimana kalau berjalan diluar rencana?”
“Kita lihat saja nanti.”
“Bereskan tempat persiapan.”
Acara itu berlangsung besar-besaran.
Calon Gubernur, Zalfa sangat menikmati suasana disana. Seringkali Ia
tertawa.
“Jadi apa rencanamu?” Tanya Daffa
pada akhirnya.
“Aku akan membersihkan Kota ini dari orang-orang
yang mencurigakan. Termasuk aku akan menyelediki warga sipil. Terkadang, diantara
mereka ada agen rahasia. Tapi sebenarnya hal ini dirahasiakan.” Ujar Zalfa
pelan.
Daffa mengerutkan dahinya, “Mana ada
orang seperti itu. Sejauh ini, aku belum menemukan yang semacam itu.” Jawab
Daffa tak kalah pelan.
“Kau akan tahu setelah aku menjabat
dan mengambil alih jabatanmu.” Seringainya.
“Tetap pada posisi. Ia akan melintas
dalam kecepatan normal 60Km/jam. Ganti.” Ujar Boss memberikan perintahnya pada
sebuah earphone.
“Aku sudah di posisi. Ganti.” Jawab
Nuka yang sedang duduk di halte pinggir jalan.
“Cih, bau sekali gedung tua ini.
Ganti.” Ucap Nabila sambil menutupi hidungnya. Sniper yang akan Ia gunakan Ia
letakkan diatas Jendela tempat Ia akan beraksi.
“Aku juga sudah di posisi.” Ucap Anggi
tenang sambil mengelap badan Snipernya.
“Aku menunggu. Ganti.” Jawab Adis
sambil memejamkan matanya.
“Baiklah ,
Ia akan muncul semenit lima puluh detik setelah ini.” Ujar Boss
menekan earphonenya. Semua yang bertugas semakin siap dalam posisi mereka.
Anggi telah menjepit sniper diketiaknya dan mulai mengekeri, begitupula dengan Nabila. Nuka yang memegang teropongnya
mulai menggunakannya dan berdiri. Adis yang akan mengelabui calon Gubernur di
posisinya.
“Lewat.” Ujar Nuka menekan sebuah
tombol pada layar ponselnya.
“Aku akan tembak kepalanya!” ucap
Nabila girang.
“Semoga meleset. Jadi, Aku yang akan
menmbaknya.” Jawab Anggi tenang.
“Eeeeeeeeh?! Harusnya aku dong!”
Nabila tidak mau kalah.
Boss berdeham. Semua yang mendengar
pada earphone nya seketika menjadi
hening. “Adis kau siap?”
“Oh sudah merah, ya? Baiklah.” Ucap
Adis menggendong barang dagangannya menuju lampu merah, tempat Ia akan
berjualan untuk mengelabui orang yang akan dibunuh.
Saat itu juga mobil Zalfa berhenti
karna lampu lalu lintas berganti menjadi merah. Semuanya berjalan sesuai dengan
perhitungan. “Ada
waktu 30 detik untuk memulai. Bersiap-siaplah. Kita akan menyelesaikan dalam
detik ke 10.” Ujar Boss memberi perintahnya.
“Siap~” kata Nabila dengan nada
bangga.
“Kepala Izul menghalangi.” Ujar Nuka
pada teropongnya.
“Mungkin bisa kena dari atas.” jawab
Anggi.
“Memang akan mengenai kepala Izul.
Aku sudah mengaturnya. Cepatlah!” tukas Boss lantang. Mereka semua yang
mendengar terkejut.
“Oh, untuk mengorbankan lawan, harus
mengorbankan teman juga ya…” seringai Nabila mulai menekan pelatuknya.
“Kau akan membunuhnya, Boss?” Tanya
Anggi menyipitkan matanya.
Dilain tempat, Adis yang mengetuk
kaca jendela Mobil sambil menawarkan makanan dan minuman, “Sayang anak, sayang
anak, sayang anak~ dibeli tuan minumnya?” namun tidak dihiraukan. Bodyguard itu sama sekali tidak
membiarkan kaca jendela terbuka. Hal ini bukanlah gangguan. Semua berjalan
sesuai dengan perhitungan Boss.
“Detik ke 10.” Ujar Boss.
“Aku tahu.” Jawab Nabila menarik
pelatuknya.
“Izul, tali sepatumu lepas.”
Suara tembakan
dengan peredam suara lepas.
Terjadi
keheningan…
Kemudian jatuh…
“Sudah? Cepat juga.” Ujar Anggi
mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan mengelap bekas sidik jarinya
disekitar bangunan yang Ia tempati.
“Hahahaha! Akhirnya selesai!” teriak
Nabila girang dan beranjak pergi meninggalkan bangunan tua itu.
“Belum. Bereskan tempatmu. Besok
kita akan bekerja lagi.” Jawab Boss cepat.
“Eeeeeh? Besok aku akan pergi ke
acara ulang tahun temanku!” tukas Nabila cepat.
“Kalau begitu, aku akan membunuh
temanmu besok.” Jawab Nuka dingin.
Nabila mengeluh, “Kalaupun kau
membunuhnya, aku akan tetap pergi untuk belasungkawa atas kematiannya!”
Adis tertawa. “Itu lebih baik. Acara
ulangtahun berlangsung sehari. Sedangkan belasungkawa kematian hanya sejam. Kau
akan tetap bekerja setelah itu.”
“Huh.” Dengus Nabila kesal.
Mereka semua berkumpul disebuah
kantor rahasia, The Deceef, setelah merampungkan tugas mereka. Rencananya,
mereka akan membuat planning baru
untuk menyelesaikan sang Gubernur yang akan lengser, Daffa Kresnanda.
Pintu dibuka, “Fuh, tadi itu dekat
sekali.” Ucap seorang lelaki yang terlambat.
“Izul?! Kau masih hidup?” Tanya
seorang lelaki yang sudah duduk ditempat rapatnya.
Izul mengerutkan dahi, “Apa aku akan
mati?”
Saat itu juga, Boss menjelaskan
semua yang terjadi pada Ridho, yang bertanya mengapa Izul masih hidup. Semuanya
berjalan sesuai rencana. Saat peluru akan menembus dan bersarang dikepala calon
gubernur itu, Izul telah diperintahkan untuk menunduk. Tentu saja Ia tahu karna
Ia sendiri menggunakan earphone dan
mendengar intruksi bahwa tali sepatunya lepas. Izul mengikat tali sepatunya dan
saat itu juga peluru diatasnya melayang menuju kepala sang calon Gubernur,
majikannya. Setelah itu, Izul mengundurkan diri dari bodyguard mendiang Zalfa dan datang ketempat ini.
Semua agen yang ada disana tampak
antusias dan mengangguk datar. Boss mereka selalu terlihat mengerikan dalam
memberikan misi.
“Dia akan pulang dari pemakaman jam
dua siang ini. Ridho, kelompokmu akan turun.” Ucap Boss memberi perintahnya.
“Beri aku rinciannya.” Jawabnya
datar.
Boss mendongak pada Rafael yang
sedang berdiri dihadapannya. Refleks Rafael mengerti apa yang dimaksud Boss
nya, “Menurut penyelidikian, Setelah pulang dari pemakaman, Ia akan berkunjung
ke Istana Negara. Mereka akan berjalan memutar untuk menghindari massa yang ribut karna
kematian Zalfa. Tapi, kita tidak tahu mereka akan lewat darimana. Nanda,
Sekretarisnya akan memberi laporan sebentar lagi.” Jelasnya.
“Sejak kapan Nanda menjadi sekretarisnya?
Dia itu siapa?” Tanya Gian yang juga anggota kelompok Ridho.
“Kau mungkin tidak pernah bertemu
dengannya.” Jawab Boss. “Dia tangan kananku dan akan menjadi atasanmu. Turuti
saja perintahnya nanti.”
Ridho mengernyit dan menatap sinis,
“Dia hanya wanita, tak perlu dihiraukan.”
“Baiklah. Misi, dimulai!”
“Walaupun begitu, Polisi sulit
menemukan bukti bahwa Ia dibunuh…” gumam Daffa meninggalkan gundukan tanah
dihadapannya bersama wanita cantik bernama Nanda.
“Hm… ternyata begitu…” jawab
sekretaris itu menyembunyikan seringainya. “Kita akan ke Istana Negara,
melewati jalanan dalam untuk menghindari pers. Kita akan melewati perumahan
Weaef.”
“Lewat mana saja, yang penting kita
sampai tujuan.”
Mereka—Ridho, Gian, Natasha dan
Fitri berjalan-jalan disekitar perumahan Weaef, sesuai dengan informasi yang
diberikan agen bernama Nanda. Tujuan mereka berjalan-jalan adalah mencari
tempat yang akan menjadi tempat mereka beraksi. Titik mati yang sulit diketahui
oleh orang-orang. Ada
yang bersembunyi di rumah kosong, gudang tempat penyimpanan barang bekas, dan ada
juga yang duduk-duduk di warung makan pinggir jalan.
“Kenapa aku harus sembunyi di
gudang?!” keluh Natasha dalam mengenakan maskernya.
“Hati-hati sidik jari.” Ucap Gian
melahap kue nya. Ia beruntung hanya memantau lewat warung makan dipinggir
jalan.
“Hei, aku mau Tanya, kenapa kita
harus membunuhnya?” Tanya Fitri mengenakan kacamata hitamnya dan berjalan-jalan
didepan gerbang perumahan Weaef.
“Karna katanya, Ia mempunyai
informasi rahasia dari Zalfa. Orang seperti itu harus dimusnahkan.” Jelas Ridho
menjepit Sniper di ketiaknya.
“Didepan kau akan bertemu dengan
wanita tinggi berkacamata hitam. Setelah bertemu dengannya, dalam waktu sepuluh
detik kau harus turun dari mobil. Tempat ini rawan, jadi kau juga harus
berhati-hati.”
Nanda menyeringai setelah mendengar
instruksi untuknya.
“Kau kenapa senyum-senyum? Jadi
tambah cantik, eh?” Tanya sang Gubernur.
Nanda semakin tersenyum, “Aku sedang
menghayal indah!” ucapnya dengan nada girang.
“Kamu seperti anak kecil, ya?” Daffa
terkekeh.
“Indah, bukan?” tanyanya setelah
mereka masuk ke perumahan dan melihat sekilas wanita tinggi berkacamata hitam.
“Lewat. Ganti.” Ucap Fitri.
“Baiklah, aku akan pasang mata
elang.” Ujar Gian setelah menghabiskan makanannya.
Nanda turun dari mobil dengan alasan
Ia melihat sesuatu diluar sana .
Ia segera melaporkan segala informasi yang Ia ketahui pada Boss dan agen-agen
lainnya. Hal itu terbukti karna Supirnya sempat melihat bahwa Nanda tidak
melakukan hal mencurigakan diluar sana
seperti menelepon atau memberi isyarat.
“Kembali pada mobilmu dan
selanjutnya…” ucap Boss kemudian terpotong.
“Siapapun yang berada digudang, bisa
menembaknya sebelum aku masuk mobil. Tidak, saat aku membuka pintu mobil.” Ujar
Nanda.
“Bukankah itu lebih mencurigakan?”
Tanya Natasha bersiap-siap.
“Lakukan saja.” Ucap Nanda lalu
balik ke mobil sang gubernur. Ia membuka pintu mobil dan… tak ada letusan
sedikitpun. Tak ada yang terjadi pada Daffa.
“Kenapa Ia masih
‘berdiri’?! Meleset kah?!” Tanya Gian yang memperhatikan dari arah warung
makan. Maksud dari perkataan itu adalah, mengapa Daffa masih sadar. Lawan kata
dari ‘jatuh’ yang berarti sasaran telah mati.
“Natasha? Apa yang terjadi?” Tanya
Fitri tenang.
“Mereka berjalan melewati gang
kecil. Kurasa ini giliranmu, Ridho.” Lapor Gian menatap tajam mobil yang
berlalu itu.
“Cih, dasar. Ia memang selalu
cerboh.” Desis Ridho. “Serahkan padaku.” Lanjutnya dengan seringai.
Di lain tempat, Natasha menatap
sinis seorang warga yang berdiri ketakutan dibelakangnya. Ia telah ditemukan
warga setempat.
“A-apa yang kau lakukan di
gudangku…?” Tanya seorang pria berumur 40tahunan.
“Oh jadi ini milikmu ya?” Tanya
Natasha menghampiri pria itu. “Maaf mengganggu.” Sambungnya sambil tersenyum
dan mengeluarkan sebuah Handgun dari
dalam sakunya kemudian menjatuhkannya.
“Maaf aku gagal.” Ucapnya dalam
sambungan earphone. “Lagi-lagi aku
ketahuan. Apa yang harus kulakukan pada mayat ini?”
“Kau selalu merepotkan!” omel Ridho
menarik pelatuknya dan… “Ayo kita pulang! Kau, sekretaris, urus sisanya.”
Nanda berteriak histeris setelah
menyadari Daffa tiba-tiba jatuh.sesegera mungkin supir segera melarikan
Gubernurnya kerumah sakit terdekat. Tragedi itu berakhir.
Mereka, para agen-agen yang sudah
selesai bertugas merayakan keberhasilan mereka dengan makan-makan. Kedua kasus
beruntun itu masih diselidiki polisi dan mungkin tidak akan pernah diketahui.
Karna, Agen-agen itu menghapus bersih jejak ‘tugas’ mereka.
No comments:
Post a Comment